Rabu, 21 Desember 2016

Mutualisme Dalam Telolet




Sebelumnya, terima kasih saya untuk para bocah pantura yang mempopulerkan hiburan sederhana ini. Iyes, telolet ini memang berawal dari bocah pantura yang saking kreatifnya (atau mungkin bosan dengan mainan yang itu-itu saja), merekam bunyi klakson yang tidak lazim di telinga mereka. Pada bus-bus tertentu memang ada yang dilengkapi dengan klakson unik bunyinya. Dan nggak main-main lho, ternyata fenomena telolet ini sudah viral worldwide, from local go international hahahhaa.....
Mungkin ini adalah salah satu dari bentuk apresiasi publik atas inovasinya. Kita tahu lah ya, pamor bus sebagai moda transportasi kian menurun. Mereka bersaing ketat dengan keretaa dan pesawat yang tiketnya makin bisa dijangkau. Untuk jarak dekat, publik lebih menyukai transportasi online yang lebih murah. Pada umumnya, armada bus akan ramai menjelang liburan atau musim tour sekolah-sekolah, tapi untuk hari biasa bisa dipastikan banyak kursi kosong. Ya memang, analisis ini tidak bisa memukul rata karena masih ada yang setia dengan bus dengan berbagai pertimbangan seperti tiket bus yang bisa didapat sesaat sebelum berangkat, jarak terminal yang lebih dekat dan jauhnya rumah dengan stasiun besar. Tahu sendiri lah ya, sekarang kereta hanya berhenti di stasiun besar.
Kembali ke telolet, sebagai orang dewasa, saya cukup terhibur memang dengan fenomena ini. Lucu saja gitu. Dengan menunjukkan tulisan om telolet om, sopir bus dengan senang hati menekan klakson bus dan pecinta telolet akan berjingkrak-jingkrak ( tapi memang ada si sopir yang mereka anggap pelit dengan telolet dan mereka sudah hafal). Bisa jadi ini adalah simbiosis mutualisme antara sopir bus dan warga yang kurang hiburan. Ya mereka sama-sama diuntungkan. Warga mendapat hiburan dan mungkin bagi sopir ini adalah sedekah murah yang hanya mencet doang. Siapa si yang nggak mau membuat orang gembira (ea ea eaaaa).
Bagaimana dengan pengguna jalan yang lain? Kan kendaraan tidak melulu bus tapi ada mobil, motor, truk atau bahkan sepeda. Apakah volume klakson yang wow ditambah dengan irama yang enak didengar (ini relatif lho ya) tidak mengganggu yang lain? Ya gimana ya, ketika artikel ini terbit sih memang belum ada komplain yang signifikan terhadap telolet ini.
Apakah ini termasuk inovasi yang akan mendongkrak konsumen? Mengingat, ternyata eh ternyata, untuk mendapatkan klakson yang ciamiik ini tidak murah lho ya. Biasalah, ada harga rupa ada rupa. Kalau untuk jumlah konsumen, belum bisa dipastikan memang, karena saat artikel ini ditulis, belum didapat laporan akan peningkatan jumlah konsumen.
Mari tutup tahun ini dengan memviralkan yang menghibur, hahahaa......Masyarakat sudah capek dan bosan dengan lelucon pemerintah yang nggak berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka. Termasuk telolet ini. Kelompok ini bisa dibilang antimainstream. Menghibur diri di pinggir jalan brooo....apalagi jalan-jalan besar dimana dilalui kendaraan dengan big size juga. Yang penting masih dalam batas kewajaran antara penikmat dan penyaji. Awas, jangan terlena lho, nanti kalian minta telolet, yang bunyi ternyata telolet Isrofil kan berabe wkwkwkwkwk......buat P.O bus, semoga tambah sukses yaaa....




Selasa, 20 Desember 2016

Wanita yang (tak) pernah jatuh cinta; Part 2




“Lebih baik memantaskan diri daripada menjalani hubungan yang tak pasti...........”
Gadis itu berjalan tanpa ragu. Semester akhir yang cukup menguras waktu. Semester akhir yang ternyata ada mata kuliah yang harus dia ulang. Perfeksionis? Selama masih ada waktu untuk memprbaiki, kenapa tidak? Kalau toh hanya brkutat dngan proyek skripsi pastilah akan jenuh, sepi karena yang berani mengambil skripsi tidak begitu banyak, terutama angkatannnya. Justru yang lebih banyak adalah angkatan kakak kelas. Kakak kelas? Bahkan kakak kelas pun ada yang bertanya kepadanya, membantu mengalihbahasakan mulai dari abstrak sampai kesimpulan. Dosakah, aahhh...entahlah, niatnya hanya membantu.
Daftar aktivitas ia rapikan. Kuliah wajib, skripsi, mengajar kursus, mengaji, have fun dengan maksud keep in touch dengan rekan seangkatan sampai kapan harus bertemu dosen pembimbing, mengingat beliau dosen terbang yang tak bisa ditemui setiap saat. Perlahan ia mengukir masa depan.
Aarrrggghhh........ada yang sedikit mengusik fikiran. Materi kuliah apaan ini, batinnya. Memang sih, dengan pribadi seusia gadis itu cukup pantas untuk membahas masalah ini, Munakahat. Gadis itu menengok kanan kirinya dan tiba-tiba merasa salah tempat duduk. Rekan-rekan di sekitarnya sudah semua menikah. Huftt......pikirannya melayang jauh, hmmm....batang usia yang tak lagi muda. Butuh keseriusan, butuh kepastian bukan kata-kata gombal.
Entah apa yang terjadi dalam dirinya. Seperti ada yang ada ia dambakan tapi tak tahu apa, siapa dan dimana. “Fokus Glad,bukankah kesibukanmu telah banyak menyita waktu” ujarnya dalam hati.
Disela-sela kesibukannya, masih sempat juga baginya untuk membaca. Apa saja yang menurutnya menarik, dari novel hingga buku motivasi. Dan kini giliran karya Faudzil Adhim lah yang nangkring di tangannya.
“Cie....cie, dah siap  nikah nih yeeee,” ledek temannya. Gladia tersenyum tipis sambil menggeser tempat duduknya.
“ah enggak Phi. Cuma nambah ilmu, buat bahan makalah pekan depan.” Makalah??? Hanya itukah??? Sampai sekarang memang belum ada tanda-tanda. “Duh, Gladia, tenang, semua akan menikah pada waktunya”, bisiknya dalam hati.
“Hahaha....Gladia memang suka merendah, tar tahu-tahu bulan depan nyebar undangan lagiii...”, tambah gadis periang itu sambil berlalu. Gladia melanjutkan membaca buku dengan menjaga hati agar tetap netral dan berlogika. Memang, keinginan itu kadang muncul tapi  buru-buru ia tepis. Teringat ia dengan kata salah seorang teman, siapkan diri untuk menjadi pasangan yang baik, bukankah wanita baik untuk laki-laki baik. Baiklah......jadikan puasa sebagai salah satu perisai karena Allah tahu waktu yang tepat.
                        ***
“Nggak ada yang kamu kagumi Glay?”tanya sahabatnya suatu hari.
“Ehm, kalau Cuma kagum si ada. Tapi ya sudahlah, nggak terlalu mikir, entar kalau jodoh juga jadi-jadi aja,”jawabnya santai.
“Gimana kalau sama sepupuku saja,”. Uhuk.....gadis itu kaget. Sepupu yang mana??? Tanpa ditanya, Selma, begitu biasa gadis itu disapa, berbicara panjang lebar. Siapa lagi kalau bukan sepupunya, tentang lelaki itu.
Gadis itu ragu, secepat itukah. Tidak, belum, belum tahu. Mau kemanakah dia? Beberapa rekan dakwahnya berjodoh melalui murobbi tapi ia memutuskan sendiri. Sebagaimana yang ia peroleh dari kuliahnya di tahun terakhir, jika merasa risau, Istikharahlah. Digelarnya sajadah di sepertiga malam mengharapkan kebaikan dari semuanya.
            ***
Perlahan keyakinan itu pasti meski tak pernah bertemu sebelumnya. Semoga ini pertanda baik. Lelaki yang tak pernah dia kenal sebelumnya kini hendak mengetuk pintu hatinya.
Selang beberapa waktu, lelaki itu datang. Mereka berdua bertemu. Entah kenapa, mulutnya terkunci. Tak ada sepatah kata yang keluar. Selma bingung.
“Sel, aku pulang dulu ya, ngaji nih.” Gadis muda itu berpamitan dengan sahabatnya. Tak ada tegur sapa. Begitu juga lelaki asing itu. Dingin, kaku. Sementara Gladia sendiri adalah sosok pemalu yang bermasalah dengan komunikasi verbalnya.
“Menghadaplah ke orangtuaku kalau ingin serius,”.....sebaris pesan itu terkirim ke pemuda asing itu. Sepertinya Gladia memberi lampu hijau. Begitu simpelkah? Gadis itu hampir tak percaya. Bukankah mencari jodoh itu diutamakan lidiniha, baik agamanya yang nanti akan membawa ke kebaikan pula. Dan dia juga tak mau dianggap wanita cela yang menyusahkan dalam pernikahan. Tinggal keputusan di tangan orang tua. Semoga menghasilkan hal yang serupa.
            ***
Semua tinggal menghitung mundur. Meski terpisah jarak, berharap berjalan dengan baik. Gladia menyibukkan dengan kegiatannya dan lelaki itu sibuk dengan pekerjaannya. Tak banyak yang tahu bahkan teman sekampusnya. Toh, akhir-akhir ini memang jarang berinteraksi karena urusan perkuliahan tak begitu padat.
Sementara itu, selepas magrib....Gladia menerima pesan dari orang yang tak biasa. Gadis itu memang jarang berkomunikasi dengan jenis panggilan dan sepertinya teman-teman sekitarnya sudah tahu. Aaah....kakak tingkat yang sekarang jadi dosen bantu di almamaternya. Ada apa gerangan? Dia memang akrab karena sering bertemu tapi hampir tidak pernah berkomunikasi lewat ponsel. Toh, seakrab-akrabnya, ketika ngobrol mesti cari pandangan lain atau berjarak tak boleh kurang dari 1 meter.
Mau menikah denganku? Maaf, lancang, karena saya tahu, kamu tak butuh hubungan seperti yang lain, berpacaran.”
Allahu Akbar....seandainya....seandainya.....Aaargh....sekarang sudah terlambat, kenapa baru sekarang??? Gadis itu tak mau menuai akibat buruk karena membatalkan pernikahan yang sudah direncanakan. Sungguh.....
“maaf kak....saya sudah dijodohkan....”
“Tidak apa-apa, semoga bahagia”
Huft......karena tidak bertemu muka, semoga tidak terlalu kecewa.


optima, 2016

Senin, 19 Desember 2016

Gejolak Simpul Hati



Tidaklah seseorang itu dikatakan beriman melainkan mereka yang mendapatkan ujian....”
Udara pagi masih segar. Apalagi dengan pemandangan depan rumah yang ditanami berbagai tanaman yang turut menyumbangkan oksigen sepanjang hari. Di teras nampak lelaki dengan perkiraan usia setengah abad ditemani segelas teh dan rokoknya. Dia tidak sendiri. Lelaki tua tampak dengan lunglai mendekati. Teras terbuka tanpa gerbang geser memungkinkan orang dengan leluasa keluar masuk kapan saja. Aaah, bukankah rumah yang damai itu rumah yang banyak “dimasuki”orang,....semoga saja.
Sementara itu, kaum hawa sedang di dalam. Ada yang di dapur, ada pula yang sedang bersih-bersih Salah satunya dia. Perempuan yang lugu karena memang anggota baru. Kikuk, pasti, bingung mencari topik pembicaraan, karena sejauh ini....tidak ada yang menarik baginya.
“ Yaah, rumah bapak masih begini Glad. Ini rumah Gladia juga. Semoga betah ya. Nanti ada rejeki bisa diperbaiki,” ujar lelaki paruh baya itu. Dari nada bicaranya sudah bisa ditebak kalau orang ini bijak dan cerdas. Berbeda dengan mereka yang sedang bergumul di dalam. Sebenarnya masih dalam batas kewajaran Cuma memang belum terbiasa bagi perempuan udik itu. Semua perlu adaptasi. Adaptasi? Mengikuti arus? Tunggu dulu.....
“Dasar gobl*k, gimana sih, begitu saja nggak bisa,”teriak wanita paruh baya dari sudut rumah, Kata-kata itu diikuti dengan kalimat yang serupa, beg*, tol*l. Semua nampak biasa saja tapi di sudut rumah yang lain, ada yang tersentak. Sementara itu, tayangan tivi tetap menyala dengan acara yang sebenarnya tak begitu bersahabat wanita desa itu.
                                ***
“Nggak usah diambil hati,” begitu ujar lelaki muda kepada Gladia. Aaah, terlalu sensitive, dasar wanita.
Kesehariannya dihabiskan seperti perempuan lain. Stay home sambil mendoakan pujaan. Nikmati sebelum ia disibukkan dengan pekerjaan barunya. Ya nanti, kalau salah satu lamaran kerja yang ia kirim diperhitungkan. Dan memang tidak lama,......tak perlu menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan panggilan. Yah, meski freelance cukup syukuri. Itu artinya masih punya waktu untuk mengurusi rumah. Ya rumah yang satu atap dengan anggota keluarga yang lain.
Tak perlu ngoyo karena perempuan sejatinya hanya membantu, bukan untuk pokok. Itung-itung agar ilmu yang didapat selama empat tahun tak luntur begitu saja. Be happy as always. Berangkat habis dzuhur pulang malam. Kalau beruntung diantar jemput lelakinya, kalau kurang beruntung ya berangkat sendiri naik koasi.
                ***
Malam jelang akhir bulan, tiba-tiba ponsel berdering. Ah dia, bukankah baru berangkat kerja. Segera saja telepon itu diangkat Gladia.
“Hallo, assalamualaikum”
“Nduk, tolong jemput”
“Kenapa”
“ Aku jatuh”
“Jatuh, kesrempet”. Dug, kepala Gladia seperti dihantam batu. Tenang, tenang Gladia, pikirnya. Kalau orang masih bisa menelpon, berarti dia dalam keadaan sadar. Huft, semoga tidak ada luka yang berarti. Tinggal berfikir, dengan apa menjemput lelaki itu. Aargh, buntu, pikir Gladia. Disuruhnya mengunjungi tetangga yang belum sepenuhnya kenal, gadis itu sedikit menggerutu. Kenapa yang ribet Cuma dia, sedangkan anggota keluarga yang lain malah leha-leha. Aih, give up, berbalik bertanya harus kemana. Sampai pada akhirnya ada angkot tetangga menyapa.Ia pun bergegas ditemani beberapa orang ke tempat yang dimaksud. Ya harus dengan orang, karena Gladia buta, buta arah dan alamat.
Hemmm, baiklah, kini kesibukan bertambah. Mengurus lelaki yang jadi pendampingnya, duhai Gladia. Tidak terlalu repot. Cukup membantunya mandi. Kalau untuk berjalan dan sekedar makan, masih bisalah meski it takes time.
Karena lelaki itu butuh waktu untuk istirahat, firasat tentang pekerjaannya pun berkelebat. Dan benar saja, sebagaimana pekerjaan sekarang yang lengkap dengan embel-embel kontrak, Kontrak kerja habis menjelang idul fitri tanpa THR. Kabar baiknya, Gladia kini berbadan dua. Berhuznudzon kepada Allah. Himpitan ekonomi membayangi tapi tak perlu panik berlebihan  mengingat ada jiwa lain dalam raganya.
                                                ***
“Ya sudah, nggak usah cek, toh tetangga nggak pernah cek brojol juga.” Mendadak pening. Gladia mulai sedikit berontak kalbunya. Bukankah ini akan jadi cucu pertamanya???Apa tidak bisa dijaga sedikit lebih sopan, pikirnya. Setiap hari mendengar umpatan yang meski sebenarnya nggak maksud mendegradasikan. Namun tetap saja ada yang menyeruak dalam dirinya. Hatinya bergejolak, ini bukan budayaku, lirihnya. Mengikuti arus atau tetap bertahan pada prinsipnya. Ataukah ini yang namanya egois, sensitif katrena tengah berbadan dua. Sementara itu, lelaki itu mulai rapuh, menyalahkan diri sendiri karena belum bisa menjadi selayaknya lelaki sejati. Fondasi iman mulai keropos......Tidak ada lagi tempat mengadu selain kepada Pemilik Kalbu.
“Sungguh, Allah menjadikan baik dari tiap perkara yang menimpa kaum muslim.”
 Dan perempuan itu tetap dengan keyakinannya dengan berbaik sangka.
Optima, Desember 2016

Jumat, 16 Desember 2016

Wanita yang (tak) Pernah Jatuh Cinta;Part 1



Kalau mencintai itu menyakitkan, cukuplah bagiku untuk mengagumimu saja......
Koridor kampus kecil masih lengang. Belum banyak mahasiswa yang datang karena perkuliahan baru dimulai 7.30. Selain itu, saaat ini memang masa reses bagi mereka para agent of change. Ujian semester sudah berakhir. Mereka ke kampus untuk mengecek nilai atau kalau yang beruntung bisa mengikuti kuliah semester pendek. Beberapa menghabiskan masa liburan dengan pulang kampung halaman, piknik atau jaga kandang memantau keadaan.
 Gadis berjilbab lebar itu mengeluarkan hape mungil untuk sekedar memecah kebosanan sekaligus mengecek waktu. Aaah, pantas saja, it’s 06.45. Tapi tak apalah. Terlalu bersemangatkah? Mungkin, karena telah seminggu tak bersua dengan rekan-rekan halaqohnya. Demi mengusir kejenuhan, ia membolak-balik, membaca sepintas buku motivasi “From Zero to Hero” ditemani dengan lantunan nada-nada Izzatul Islam. Gladia begitu ia biasa disapa.Tak lebih dari setengah jam jilbaber itu bergabung dengan sahabat halaqohnya. Sudah beberapa bulan gadis berperawakan kecil itu sedikit berubah. Berhijrah? Mungkin.
“Assalamualaikum, Glay, sudah lama menunggu ya?”
“Walaikumsalam Husna....nggak begitu lama kok.”
“Ya udah, kita berangkat sekarang yuk.”
Gladia bersama kawannya mulai beranjak. Beberapa memang ada yang bertanya-tanya kenapa gadis yang selama ini agak nyleneh itu bisa tiba-tiba bergamis dan memanjangkan hijabnya. Memang, perubahan tidak ada yang tahu pasti, termasuk apa yang terjadi dengan gadis yang berIPK tak pernah kurang dari 3. Introvert. Begitulah kata teman-temannya. Ia bisa berbagi canda tawa tapi tidak begitu dengan pribadinya, isi hatinya......
                        ***
Liburan semester yang berlalu begitu cepat. Perkuliahan segera dimulai. Kampus mulai ramai entah dengan wajah lama atau wajah-wajah baru. Tak terlalu kelihatan, mana mahasiswa yang benar-benar baru fresh graduated SMA  dan mana yang mahasiswa transfer. Mereka berbaur dalam komunitas yang tidak memandang senioritas, termasuk lelaki itu.....
“Kamu, Gladia? Saya Cleverian.” Keduanya cukup dengan mengatupkan masing-masing tangan. Pemandangan yang lazim terjadi di kampus Islami ini. Gadis itu sibuk menata buku-buku dengan ratusan judul yang tidak semua paham. Terang saja, karena  buku tersebut ditulis dengan bahasa Inggris.
“ Ada buku Francesca Taylor?”
“Oh, bisa dicari di folder English Course yah,” gadis itu mengarahkan ke rak paling ujung. Buku-buku serius dengan materi grammar dan teori-teori linguistic berada dalam satu folder. Tanpa banyak bicara, lelaki itu menuju rak yang dimaksud. Semua fokus dengan aktifitasnya.
“ Aku pinjam buku ini yah. Oh ya, mohon bantuannya ya kalau aku ada kesulitan dalam Bahasa Inggris.” Gadis itu mengernyitkan dahi. Belum sempat dijawab, lelaki bertubuh jangkung itu beranjak pergi.
Apa aku terkenal?, batin Gladia. Aaah, mungkin kebetulan saja, kebetulan Gladia yang jaga di perpus khusus literatur bahasa Inggris. Hemmm......jantungnya berdebar-debar.
Kalau tidak di English Centrenya, pasti ia sedang ikut kuliah, atau mungkin di masjid kampus. Tak banyak circle of friends dan tempat kongkownya. Memang, sesekali ia diajak teman sekelasnya bersafari, having fun, tapi toh itu tidak terjadi setiap hari. Yah, at least, bisa refresh otak.
Glay, ada waktu?”, Lelaki itu lagi. “ Kamu ambil kuliah poetry kan?, bantu buat parafrase ini ya.?” lanjutnya.
“Robert Burns? pasti yang Red Red Rose.” tukas gadis itu
“ Ada ide lain?” Tanyanya.
“Coba cari literatur Luis Stevenson.” “ Tapi waktuku tidak banyak yah, ada Research dan siswa les yang menunggu.”
“Baiklah Glay, nggak masalah.” Lagi, ada hal yang menyesakkan. Mencoba mencuri pandang tapi justru makin berdebar. Buang muka, yah, buang muka. Ini bukan berarti tidak suka tapi lebih menjaga pandangan.
Ya Tuhan, tetapkan hatiku untuk selalu kepadaMu, batinnya.
Tidak sampai satu jam, diskusi berakhir bersamaan dengan Adzan Dzhuhur. Gadis itu bergegas menyambut panggilan suci. Langkahnya pasti.
            *****
“Hey Gladia, kamu itu ada yang kamu taksir gak sih? Please deh, sudah dua tahun lebih masih jomblo saja.” Ledek temannya. Kadang ia juga berkumpul dengan beberapa teman sekelas yang mangkal di kost-kostan salah satunya. Memang, diantara mereka, yang masih free Cuma Gladia.
“ Nggak punya waktu buat mikirin begitu Sas. Sudah sibuk di....”
“Halah, pasti kamu kikuk dengan jilbab lebarmu dan teman-teman ngajimu itu toh? Kamu normal kan?”
Kecut. Tapi dengan segera perasaan itu buang. Semua orang bebas mengungkapkan pendapatnya. Biarlah itu jadi cerita nanti. Anggap saja bergaul dengan mereka sebagai piknik dengan segala kegokilannya. Pengalaman jadi beragam, tak melulu ngaji, jihad, target hafalan, LDK dan sebagainya.
“Terus, kemarin, kamu diskusi sama siapa? Boleh tuh. Tapi kayaknya kamu nggak peka deh, buang muka mulu.”
“Yeee....Phi, itu Cuma bahas tugas poetry doang, Dzhuhur juga kelar.” jawabnya ngeles. Ngeles atau.....entah. Pikirannya melayang. Kenapa tidak melambat-lambatkan diskusi. Kenapa juga beralasan nggak hafal nomer hape dan kebetulan hape mati. Aaarghh.....Hilang kesempatan, maksudnya??
            ***
“ Hai Glay, semangat sekali kelihatannya.” Cleverian,......
“Oh ya, perasaan aku tiap hari begini deh.”
“Oh ya, kenalin, ini teman-temanku dari kampus yang lama, Sheryl, Hasyim dan Ridwan.”
Cantik Sheryl.....ujar Gladia dalam hati. Aarrghhh,.....kenapa juga membatin yang perempuan, bukankah di sampingnya ada dua lelaki. Biasa, manusia selalu memandang hal yang kurang daripada yang lebih.
Tak butuh banyak waktu baginya untuk menghilangkan perasaan yang berkelebat di fikirannya. Pergi ke perpus, project mading, kuliah Research yang butuh pemahaman lebih bagi orang dominan otak kanan. Sepanjang masih bisa happy, tak perlulah memikirkan yang belum pasti, apalagi untuk urusan hati. Cemen?Pengecut? Bukan. Bukankah lagu mengajarkan kalau sakit hati lebih sakit daripada sakit gigi???
            ***
Ahad, menjelang UTS. Gladia justru menghilang dari peredaran. Hanya datang sesekali. Tidak banyak yang tahu, toh memang dunia perkuliahan tidak lazim dengan izin tidak masuk. Absen ya absen saja, sepanjang presensinya masih 75%, itu masih ditolerir.
Gadis itu bersama komunitasnya. Menderapkan langkah kaki, sesekali melantunkan dzikrullah. Di malam hari dihabiskan dengan teori dan bermalam di salah satu rumah penduduk. Ukhuwah yang begitu erat membuat sejuk di hati.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi, menyiratkan pesan. Nomor asing tapi dengan sopan bertanya.
Gladia, dimana?”
“Kenapa?”
“Bertemu”
“Untuk apa”
“Komitmen”
“Komitmen apa?”
“Perasaan”
“Maksudnya”
“Pacaran. Pacaran syar’i”
“Tidak ada syar’i. komitmen sebenarnya adalah ketika kau berakad”
Aku belum siap
“Maafkan....”
Tidak ada jawaban.....
Tangan gadis itu serasa kaku, hatinya beku. Yaa muqollibal qulub. Aku mengaguminya tapi aku ragu. Tetaplah aku begini sambil memantapkan hati.
“Hanya sebatas kagum, tak perlu ditempatkan di relung hati....”

Optima, Desember 2016




English_6thGrade_#4

  Cross a,b,c or d of the right answer! 1.       Kim :................? Ran: I am twelve a.        How are you                        ...