Rabu, 27 September 2017

Berani Bersaksi ; Bukti Cinta Pada Negeri





Atas nama perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, beragam informasi pun mudah didapat. Mulai dari fakta, hoax, kabar baik, kabar buruk, kriminalitas maupun gosip selebritis, senantiasa menghiasi layar, entah tivi, entah laptop.

Salah satu berita yang yang cukup awet, karena seperti cendawan di musim hujan adalah kasus korupsi. Pada awalnya, korupsi seringkali terjadi di antara pejabat wakil rakyat yang cukup menyayat. Akan tetapi, kasus memalukan ini seperti fenomena gunung es. Faktanya, kini, tindak korupsi menyerang segala lini. Mulai dari jajaran paling atas sampai dengan elemen paling bawah seperti pedesaan. Mulai dari dana pengadaan kitab suci, identitas diri, sampai dengan pembangunan desa pun masuk ke beberapa kantong pribadi.

Pelaku korupsi pun bervariasi, meski harus diakui bahwa sebagian besar penjahat yang berjulukan tikus kantor itu mrupakan pekerja berkerah putih. Mereka berpendidikan tinggi, rajin beribadah ( Insya Allah) dengan standar gaji yang tinggi.

Sebagai masyarakat bawah, kadang-kadang heran, bagaimana bisa mereka melakukan hal nista semacam itu padahal secara ekonomi, mereka sudah berkecukupan. Mungkin ini yang dimaksud sebagai harta itu layaknya air laut. Semakin ditelan justru semakin haus.

Memang ironi, ketika beragam acara tivi yang menayangkan beragam derita rakyat, para pejabat justru menyelipkan lembaran rupiah dari uang negara ke kantong pribadi mereka.
Celakanya, kejahatan ini dilakukan secara berjamaah dan rapi. Yah, namanya juga orang-orang pintar, kalem sajalah nggak perlu brutal meski intinya ya kriminal juga. Sebuah komitmen untuk tutup mulut begitu dijunjung tinggi agar terhindar dari jeruji.

Lantas, bagaimana dengan sikap kita jika menyaksikan tindak negatif tersebut?Apa hanya cukup berdiam diri? Sekedar mencari-cari alasan ketika diajak rembugan? Tunggu dulu....sahabat Ali pernah berkata : Kezhaliman akan terus ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat tetapi karena diamnya orang-orang baik.”
Nahhh lhoooo....benar juga si ya kalau dipikir-pikir.

Apabila menemui sesuatu yang curang, sesuatu yang timpang hendaknya tidak usah ikut-ikutan. Ingatlah keluarga, bagaimana bisa tega memberi nafkah haram kepada istri dan buah hati. Bukankah sudah dijelaskan dalam Al Baqoroh :188 yang mana artinya  "Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. 
Jadi, sebagai umat yang taat, say no to corruption adalah sebuah harga mati.

Meski tugas menindak kejahatan itu adalah aparat, tetapi, sebagai orang yang cinta agama dan negara, seharusnya tak hanya diam, melainkan turut serta dalam memberantas tindak kejahatan ini.
Sebagai contoh, tidak segan-segan untuk melapor apabila ada indikasi korupsi. Hal ini memang tidak mudah apalagi jika nilainya cukup besar dan dilakukan oleh orang-orang yang berpengaruh. Berisiko? Sudah pasti, apalagi di zaman yang sudah mulai gila, orang tak segan-segan menghilangkan nyawa demi harta.

Akan tetapi, agaknya kekhawatiran akan resiko tersebut tak perlu didramatisir. Sekarang di negeri kita tercinta ini sudah ada LPSK. Apa sih LPSK itu? LPSK merupakan singkatan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Sesuai namanya, lembaga ini bertugas untuk melindungi saksi dan juga korban dari segala ancaman dan intimidasi. Lembaga ini bertujuan agar proses penegakan hukum bisa berlangsung lurus, jujur dan adil. Saksi dan korban tidak perlu was-was dalam mengungkapkan suatu kasus. Yah, mungkin orang-orang belum begitu paham karena memang lembaga baru. Weits...tapi kan sekarang jaman internet, coba deh googling kata LPSK, mungkin bisa membantu.

Sebagai wujud cinta negara dan umat yang beragama, sudah seharusnya kita menyisingkan lengan. Menegakkan kebenaran adalah hak dan kewajiban setiap insan. Sebagaimana hadist Rasulullah : Barang siapa di antara kalian menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah is merubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, maka jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman.”

 Nah, kira-kira kita termasuk insan yang mana ya, kalau dengan tangan dan lisan masih mampu, kenapa hanya duduk manis???

Kamis, 21 September 2017

Pintar Dalam Mengelola Telepon Pintar



"Setiap perubahan, meskipun perubahan yang lebih baik, pasti ada ketidaknyamanan. Dan ketidaknyamanan itulah yang harus diubah menjadi kenyamanan." (Anonim)
Perubahan adalah suatu keniscayaan. Adalah suatu hal yang lumrah, bahwa perubahan zaman diikuti dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Seiring dengan perkembangan teknologi, beragam teori di dunia parenting pun bermunculan. Ada yang pro, ada yang kontra. Begitulah, Ibarat perabotan, IPTEK layaknya pisau dengan mata yang tajam di kedua sisinya.

Di era modern seperti sekarang, segala sesuatunya memang dipermudah. Alat-alat makin canggih yang merupakan buah kecerdasan manusia pula. Salah satu produk dari intelegensi manusia adalah gadget.

Jaman sekarang, siapa sih yang tidak kenal gadget, smartphone, atau yang juga bisa disebut telepon pintar???

Kemunculan telepon pintar itupun bak cendawan di musim hujan. Pabrikan elektronik berlomba-lomba mempersembahkan karya terbaiknya untuk segenap umat manusia. Hal inipun seirama dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang bisa dilihat dari daya beli yang meningkat. Gadget dianggap bukan barang yang mewah lagi melainkan kebutuhan primer yang membentuk pola pikir bahwa salah satu item must-have adalah smartphone. Dengan piranti ajaib itu orang-orang menghabiskan waktu senggang tanpa harus kemana-mana. Tak hanya orang yang bekerja, anak-anak pun sekarang makin akrab dengan alat ini. Padahal kalau dipikir-pikir, memiliki smartphone juga konsekuensinya harus mengisi pulsa ataupun kuota.

Atas nama kesibukan dan kemudahan pula lah, orang tua lebih memilih gadget sebagai mainan baru anak-anak mereka. Ketika tuntutan kerja yang makin penat sementara orang tua tidak ingin direpotkan dengan kerewelan anak, maka pilihan pintas adalah dengan memfasilitasi anak-anak dengan smartphone.

Apa sih yang tak bisa didapat dari smartphone? Ada banyak ragam game baik online maupun offline. Selain itu, keberadaan media sosial yang menawarkan segala kekreatifannya membuat anak makin betah menggenggamnyaberlama-lama, istilah jawanya “anteng”.

Lalu, apakah semua akan baik-baik saja? Apakah tidak ada efek-efek baik jangka pendek atau jangka panjang? Tunggu dulu, perlu diketahui bahwa teknologi tidak datang tanpa konsekuensi. Sebagai contoh, penemuan kantong plastik yang dibuntuti dengan kandungan zat karsinogen sebagai penyebab kanker, kemunculan pestisida DDT justru menimbulkan masalah kesehatan pada anggota rantai makanan, pemakaian AC dan kulkas yang belakangan disinyalir sebagai salah satu pemicu global warming, dan masih banyak yang lain.

Begitu juga dengan kemunculan gadget. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa penggunaaan gadget dengan durasi yang cukup lama dapat menimbulkan masalah baik fisik maupun mental.
Pada sisi mental, penggunaan gadget bisa menumbuhkan sikap antisosial. Seorang anak menjadi cuek, tidak peduli dengan keadaan lingkungannya karena terlalu asyik bermain gadget. Bisa dikatakan bahwa gadget menimbulkan candu. Bahkan di media sosial sendiri sering kita lihat kata-kata sarkas “ smartphone menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh.”

Ada istilah baru tentang phobia yaitu Nomophobia ( No mobile phone phobia), suatu ketakutan yang disebabkan karena kehilangan smartphone. Sebuah penelitian di Inggris mengemukakan bahwa 66% dari 1000 responden menyatakan merasa takut kehilangan atau terpisah dari ponsel mereka. Di Indonesia sendiri memang belum ada data yang pasti, tetapi gejala apatis, antisosial itu sudah biasa kita lihat. Banyak sekarang yang lebih suka mengurung di kamar dengan bermain smartphone daripada bersosialisasi dengan tetangga. Ngobrol via media sosial dirasa lebih asyik daripada berkomunikasi secara langsung.

Adapun fakta lainnya yaitu artis luar negeri, Selena Gomez, diberitakan harus berkunjung ke psikolog karena tekanan mental akibat gadget. Kabarnya sang artis mengalami ketergantungan yang membuat dirinya berulang kali menatap layar smartphonenya, mengecek media sosialnya. Hal ini cukup menyita waktu seolah-olah hidupnya dikendalikan oleh beragam media sosial, melihat yang sebenarnya hanya bersifat sepele bagi kehidupannya.
Pada sisi fisik, ternyata riset kesehatan juga mengungkapkan sejumlah fakta. Dibalik asyiknya bermain di depan layar smartphone, ternyata ada ancaman kesehatan yang perlu diperhatikan seperti :
  • Kegemukan. Tentu saja hal ini disebabkan karena biasanya orang-orang yang tengah asyik juga ditemani dengan cemilan tinggi kalori pemicu obesitas. Sudah tahu kan efek berantai yang diawali dengan kegemukan?
  • Nyeri punggung. Hal ini bisa disebabkan karena sikap duduk yang monoton. Seorang ahli persendian Australia mengingatkan akan gejala “text-neck”. Karena terlalu lama menunduk, seseorang bisa mengalami ketidaknormalan tulang belakang.
  • Efek radiasi. Ya, ketika terlalu lama menatap layar yang memiliki gelombang elektromagnetik, maka efek radiasi bisa sampai titik kulminasi yang bisa mengakibatkan kerusakan otak, gangguan tidur, sakit kepala berulang, bahkan berpotensi alzheimer.

Dan masih banyak efek buruk lainnya. Masih kurang? Pakar parenting kenamaan, Ely Risman S.Psi mengatakan bahwa gadget berpotensi mengancam masa depan anak. Beragamnya konten yang disertai dengan kemudahan dalam mengaksesnya bisa berujung pada berbagai kasus seperti pornografi, pedofil, kriminalitas, permainan tidak aman dan perilaku buruk lainnya.
Lantas, apakah kita sebagai orang tua harus menghentikan penggunaan gadget? Apakah pilihan yang baik untuk menyuruh anak-anak selalu bermain diluar atau terus-terusan bergumul dengan buku pelajaran?

Ada banyak petuah tentang pemakaian gadget terhadap anak-anak. Tidak bijak kalau harus benar-benar menjauhkan dari benda itu. Sahabat Ali pernah berkata, “ didiklah anakmu sesuai zamannya.” Ini berarti bahwa dalam pengasuhan, pendidikan anak tidak boleh disamakan dengan orangtua dahulu. Beda zaman sudah tentu beda tantangan, beda treatment.

Beberapa pakar menyebutkan akan pentingnya aturan-aturan mengenai gadget sehingga tetap sehat dalam berinternet. Diantaranya yaitu :

  • Batasi waktu

Manajemen waktu tak hanya milik para pekerja tapi bermain gadget pun ada idealnya. Riset mengungkapkan bahwa durasi anak-anak bercengkrama dengan kotak ajaib tidak boleh lebih dari dua jam. Untuk ukuran anak sekolah yang banyak tugas dan sejumlah ujian, maka durasinya sebaiknya diperpendek. Untuk mendisiplinkan memang harus ada pengawasan dari orang dewasa. Orang tua atau kakak, selaku kendali, diharapkan senantiasa mengingatkan batas waktu dan tidak segan-segan mengambil gadget yang ada di tangan.

  • Dampingi anak-anak
Tak hanya sekedar menggenggamkan gedget, tetapi juga sesekali mendampingi buah hati untuk memastikan bahwa konten-konten yang dilihat aman bagi mereka. Jangan sampai anak anteng tapi diam-diam menyaksikan video porno, kekerasan atau aksi negatif lainnya.

  • Edukasi
Sebagai orang tua yang bijak, sudah seharusnya tidak mendadak lepas tangan begitu anak-anak ceria bermain gadget. Berilah contoh-contoh konten yang baik untuk anak seperti video tentang craft, website ilmu pengetahuan dan teknologi, soal-soal online dan berbagai laman positif lainnya. Selanjutnya, anak-anak bisa diajari untuk mengupload ketrampilannya di situs youtube seperti mengaji, berkreasi DIY(Do It Yourself) atau bahkan menyanyi. Berawal hanya sebagai penonton, selanjutnya menjadi subjek atau pelaku dalam video yang bermanfaat. Tidak menutup kemungkinan jika kelak ia bisa menuai rupiah dari video yang ia upload.

Gadget adalah simbol perkembangan zaman. Apabila anak-anak dijauhkan, bisa jadi malah timbul yang bernama gegar teknologi, kagetan, mudah terheran-heran. Tidak bijak juga membiarkan anak layaknya katak dalam tempurung. Atau mungkin ingin mendidik dengan gaya Bill Gates? Orang nomor satu di Microsoft ini kabarnya tidak memberikan fasilitas handphone sampai usia anaknya dirasa cukup bijak dalam mengelola. Bisa, hanya saja kebutuhan bermain sang anak juga tercukupi, baik indoor maupun indoor, suasana rumah yang nyaman dan tak lupa juga kasih sayang. Jangan buru-buru menjauhkan smartphone sementara anak-anak hanya dikurung di rumah karena lingkungan yang dianggap tidak begitu bersahabat dengan anak.








English_6thGrade_#4

  Cross a,b,c or d of the right answer! 1.       Kim :................? Ran: I am twelve a.        How are you                        ...