“Pelajarilah adab sebelum ilmu lainnya” (Imam Malik)
Sebagaimana kata-kata bijak di atas, bagi para penuntut ilmu, adab
adalah yang lebih dahulu dipentingkan. Ulama Yusuf bin Al Husain pun setali
tiga uang dengan menyatakan bahwa dengan adab, orang bisa dengan mudah
mempelajari ilmu. Hal ini berarti semakin adab kita kurang, makin sedikit pula
ilmu yang kita serap.
Tanpa embel-embel pahlawan tanpa tanda jasa pun, Allah sudah
memuliakan guru dengan menjamin pahala yang terus mengalir atas ilmu yang
disampaikan meskipun guru sudah tiada. Kata pak guru ketika saya masih di
bangku SD, ilmu yang bermanfaat termasuk amal jariyah, sebanding dengan
sedekah. Dilogika sajalah, orang-orang boleh bercita-cita sebagai dokter, pengacara
atau bahkan presiden. Namun, itu semua mustahil tanpa keberadaan guru.
Sadar akan pentingnya profesi guru, sejumlah negara menempatkan
profesi guru sebagai pekerjaan yang bergengsi, tak kalah dari pekerja kantoran.
Di negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand, para
guru digaji yang cukup untuk kelangsungan hidupnya. Data dari sebuah laman
online menyebutkan bahwa gaji di negara-negara tersebut di atas lima juta rupiah.
Bahkan, konon di Singapura, tetangga kecil kita, gaji guru bisa mencapai
ratusan juta per tahunnya.
Berbeda dengan negara tetangga, kehidupan guru di Indonesia memang
kurang memuaskan. Bahkan di sejumlah daerah bisa dikatakan memprihatinkan. Tak
jarang kita mendengar berita kerasnya kehidupan guru di pelosok, tantangan alam
yang tak sebanding dengan gaji yang ia terima. Tak hanya itu, akhir-akhir ini
merebak berita tentaang penganiayaan terhadap guru. Entah itu mengakibatkan
cedera raga, masuk penjara bahkan hilang nyawa. Betul juga kata-kata di meme di
media sosial “ guru sekarang tak hanya menguasai ilmu pelajaran tapi perlu juga
dibekali ilmu hukum dan ilmu bela diri.” Untuk para orang tua, mari panjangkan
sumbu, dinginkan kepala, semua pasti ada solusinya".
Di perkotaan sendiri, guru-guru mulai sedemikian kreatifnya dengan
sambilan seperti menitipkan snack di kantin, les hingga malam bahkan ada yang
nyambi ojek online. Alasannya, sudah tentu karena himpitan ekonomi.
Memang, beberapa sekolah sanggup untuk menggaji guru dengan jumlah
yang layak, tapi berapa persen dibandingkan dengan gaji yang menggenaskan
tersebut? Selain disibukkan dengan rangkaian tupoksi guru, faktanya, guru juga
diribetkan pemberkasan tetek bengek entah itu untuk tunjangan, PPG, UKG , UKG,
sertifikasi atau entah itu namanya yang tentu saja syaratnya cukup menguras
tenaga dan waktu.
Pemerintah pusat tak sepenuhnya buruk memang. Anggaran pendidikan
sudah ketuk palu, mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya tapi entahlah,
kadang implementasinya sedikit mengecewakan. Nominal sertifikasi dan berbagai
tunjangan yang cukup meleleh tapi diimbangi dengan birokrasi yang membuat emosi
sunat sana-sunat sini. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa anggaran
tersebut tidak hanya melulu untuk guru tapi juga berbagi untuk pembangunan
infrastruktur juga. Tapi lagi-lagi, soal pelaksanaannya, kadang keinginan yang
di atas dan yang di tingkat bawah berbeda. Tak hanya itu, serangan psikis
karena perbedaan kasta, antara guru PNS dan honorer kadang muncul. Mentang-mentang
honorer kinerjanya harus begini harus begitu, capeknya sama, gaji aduhai tak
kunjung tiba.
Kita tidak bisa berharap dengan pemerintah untuk menggaji semua
guru dengan jumlah yang sama sementara tanggungan pemerintah begitu beragam.
Marilah tetap berjuang, menyuarakan aspirasi dengan aksi yang berkelas juga.
Tidak saling merugikan diri sendiri maupun orang lain ( siswa). Mengutip dari
nasihat kyai Maimoen Zubair : “ kalau jadi guru, dosen ataupun kyai, kita
harus punya usaha lainnya. Dengan adanya usaha sampingan, kita tidak perlu
megharap pemberian orang lain”. Aah, ada benarnya juga pak Kyai.
Yah, mau jadi apa kita, itu adalah
pilihan masing-masing. Semua memang ada konsekuensi yang diterima.
Berjuang tak mengapa tapi dengan cara yang elegan juga, malu sama ijazah. Orang
Jawa bilang, “ guru itu digugu dan ditiru” dipatuhi dan diteladani. Perilaku
dan tutur kata dijaga karena menjadi teladan para siswa. Untuk mendapatkan hal
yang baik, tentu saja dilakukan dengan cara yang baik pula.
Sahabat guru, jalan di dunia pendidikan memang tak selalu mulus.
Bersyukur jika bernaung di sekolah keren atau pegawai negeri sipil. Tetap jaga
dalam berperilaku, berbahasa dan berbusana. Adapun saudara-saudara yang masih
menempuh jalan terjal berliku, tetaplah semangat. Jadikan pengajaran kita
sebagai tabungan amal di surga nanti. Tetap ikhlas dan bersyukur sebagaimana
yang telah tertuang di Q.S At thalaq :4 : Barang siapa yang bertakwa, maka
Allah akan mudahkan urusannya.”
Tetaplah menjadi pribadi yang positif sambil berdoa ,” Duh Gusti,
paringono sedan. Kalau kekecilan, Alphard pun tak mengapa.”