1. Halloween
"Sempurna, " Puji
mereka atas riasanku di pesta ini. Beberapa terkejut, ternganga dan ada pula
yang tertawa. Ah, sebenarnya aku tak ambil pusing, peduli setan, yang penting
bisa ikut pesta tanpa ada perbedaan. Semua baik-baik saja, sampai pada belatung
di punggung yang tak bisa kutahan. Kacau, semua berhamburan, kecuali lampu labu
di ujung gerbang.
2. Sodako
Kucoba melukis wajah seindah mungkin, termasuk bibir mungil,
hidung mancung dan tak lupa mata yang mempesona. Siapa tahu, di kondangan nanti
ada pemuda yang kutawan. Usai beranjak dari taksi, naas sekali, hujan mengguyur
badan, termasuk riasan. Segeralah orang-orang itu berteriak ketakutan. Kata
mereka, mata, mulut dan hidungku hilang.
3. Camping
Udara yang dingin ini, tetap saja tak bisa memejamkan mataku.
Ditemani sesama kakak pembina, aku putuskan untuk menyelinap keluar arena
perkemahan. Namanya saja kampung, ya jelas saja sepi. Namun, tak jauh dari
perkemahan, terlihat rona cahaya. Demi rasa penasaran, kami berjalan mendekat.
Benar saja, Ternyata ada pos penjual makanan khas malam hari. “Hmmm....lumayan,
buat teman ngemil malam,” pikirku. Dengan uang yang ada di kantong, kami
tukarkan sate dan gorengan. Tentu saja, kami bungkus agar bisa berbagi dengan
rekan yang lain.
Begitu kembali ke perkemahan, beberapa rekan yang terjaga
menanyai kami.
“Ah yang benar saja kamu, mana ada pedagang selarut ini.”Mereka
tak percaya dengan cerita kami.
“Dengar, pemukiman warga terdekat dari sini sekitar tiga kilo.
Sebelum itu, hanya kebun lebat. Ada sih kompleks terdekat yang hanya berjarak
satu kilo, tapi itu kompleks orang mati, alias TPU”,ujar rekan yang lain.
Kami terkejut. Demi meyakinkan mereka, kutunjukkan belanjaan
kami. Begitu dibuka, lemas, merinding seketika. Isinya cacing, belatung dan
daun kering.
4. Tangsi
Hidup di tangsi militer adalah salah
satu konsekuensi yang kuterima setelah bersuamikan tentara. Dengan pangkat
suami yang masih rendah, tentulah kami belum mampu untuk membeli rumah sendiri.
"Yah, semalam pas kamu piket,
ada orang namanya bu Daud main. Katanya rumahnya di ujung gang. Mau kenalan
katanya. Orangnya ramah ya. "
Mendadak raut mukanya agak aneh.
Tanpa kupinta, dia bercerita, "Bu Daud meninggal seminggu yang lalu, ketika kita resepsi di kampungmu."
Tanpa kupinta, dia bercerita, "Bu Daud meninggal seminggu yang lalu, ketika kita resepsi di kampungmu."
5. Umroh
Sebagai
pembantu yang sudah bertahun-tahun di keluarga ini, pasti aku hafal dengan
orang-orang di rumah ini. Juraganku memang baik, suka berbagi. Katanya biar
anaknya,sanak saudaranya di akherat terang jalannya. Ya, tiap tahun, ada saja
bagian dari keluarga ini yang meninggal, entah anak, cucu ataupun ponakan. Tapi
aku tak ambil pusing, toh, aku baik-baik saja di sini.
Seperti
biasa, di awal tahun Jawa ini, juragan selalu melakukan perjalanan. Belakangan
aku baru tahu, ternyata dia pergi ke gunung Kawi.Namun, dia wanti-wanti untuk
tidak menceritakan ke siapapun.
“Sum,
Sum, juraganmu ke mana to? Ada acara Muharroman nggak nongol,” tanya tetanggaku, sesama babu.
“Anu
Yem, Bapaknya lagi umroh,”
“Rajin
amat umrohnya, tiap Suro.”
“
Iya Yem, biar rejekinya lancar,”jawabku sambil ngeloyor pergi. Nggak mungkin
kan, kubilang ke gunung Kawi buat semedi.
6. Ojek
Aku cek lagi alamat jemputan, sepertinya tidak asing. Segera kutepis segala sangkaan. Bisa jadi, dia memang sedang butuh bantuan untuk pulang. Ah, sudahlah, barangkali ini rejekiku, rejeki di tengah malam ini. Kupacu kuda besi dengan hati-hati, ke gedung dekat stasiun Cawang itu.
Di menara dengan teras yang eksotis itu, kulihat seorang wanita cantik, putih wajahnya. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya, hingga iseng kucuri pandang lewat spion. Malang tak dapat ditolak, motorku oleng ke pagar warga karena lihat mukanya berubah penuh luka.
7. Sopir
Pukul 3 dini hari. Ah, akhirnya sampai juga.
Aku melaju pelan-pelan, siapa tahu ada petunjuk, bertanya pada orang, misalnya. Tak enak aku bangunkan yang di belakang karena masih terlelap. Yang kutahu, di daerah ini, penduduknya banyak yang memulai hari sebelum shubuh tiba. Iya, jam segini biasa merapat dan memilih hasil tangkapan Ikan untuk dibawa ke pasar.
Aku melaju pelan-pelan, siapa tahu ada petunjuk, bertanya pada orang, misalnya. Tak enak aku bangunkan yang di belakang karena masih terlelap. Yang kutahu, di daerah ini, penduduknya banyak yang memulai hari sebelum shubuh tiba. Iya, jam segini biasa merapat dan memilih hasil tangkapan Ikan untuk dibawa ke pasar.
Di ujung, kulihat ada seseorang duduk terdiam di gapura. Tak ada salahnya kan, jika kutanya.
"Maaf pak, Mau tanya, kediaman pak Sastro di mana ya? ", sambil kusodorkan sebuah alamat.
Dengan suara serak khas kakek-kakek, dia pun menunjukkan alamat yang kumaksud. Sudah dekat rupanya.Ternyata, sejumlah orang sudah menunggu. Beberapa pasang mata nampak berkaca-kaca.
"Maaf pak, Mau tanya, kediaman pak Sastro di mana ya? ", sambil kusodorkan sebuah alamat.
Dengan suara serak khas kakek-kakek, dia pun menunjukkan alamat yang kumaksud. Sudah dekat rupanya.Ternyata, sejumlah orang sudah menunggu. Beberapa pasang mata nampak berkaca-kaca.
Begitu pak Sastro diturunkan, aku yang kaget. Wajahnya sama dengan lelaki yang kutanya di gapura tadi. Rasanya ingin berhenti saja jadi sopir ambulans.
9. Sekolah Kuno
Hal yang membanggakan dari diriku adalah belajar di sekolah idaman umat ini. Bangunan khas gaya gothic membuat terlihat angkuh dan elegan, termasuk para penghuninya.
Ya, para penghuninya, termasuk noni Belanda yang kulihat ketika datang kepagian.