Silahkan kalian berkata, berfikir
apapun itu, itu adalah hak kalian. Apakah aku ini sombong, pemalas, atau apapun
itu,....
Aku sendiri mulai jijik dengan
kondisi seperti ini. Andai saja....andai saja....kalau saja aku tidak memasuki rumah sakit itu, kalau
saja aku bisa lebih berhati –hati, tidak ceroboh di setiap aktifitasku...dan
kalau saja mereka bisa bekerja lebih profesional. Kesalahan adalah
wajar,..everybody makes mistake. Tapi tidak..tidak untuk sekarang. Meludahi
diri sendiri? Meludahi mereka..para perawat? Inginku caci mereka terkait
keteledoran yang mereka buat, inginku tuntut mereka karena malpraktik
ini,....tapi...huh, itu semua tidak akan mengubah keadaan. Aku akan tetap
seperti ini, atau bahkan lebih buruk.
“ abang, abang...sudah jam 7. Abang
kan harus kerja. ” suara gadis kecil itu memecahkan lamunanku. Nedja, adikku
satu satunya. Setidaknya, dengan mendengar suara cemprengnya, kegelisahanku
sedikit teratasi. Bocah tujuh tahun itu....Orantuaku yang sibuk bekerja, tidak
mungkin aku curahkan kepada mereka,meski sedikit. Mbok Yem??? Halah, tahu apa
dia. Cukuplah memasak dan bersih bersih kerjanya.
Aku beranjak dari kasurku.
Fyuh...kasur, bantal, selimut, apeeekkk.
Aku bawa semuanya ke belakang,
tentu saja, minta dicuciin mbok Yem. Begitulah kesehariannya. Cukup menjenuhkan
memang. Ayah ibu...tak kelihatan, Mbok Yem sibuk dibelakang, dan Nedja...gadis
kecil itu sedang asyik nonton tivi sambil mengayunkan pensil di atas bukunya.
Masuk siang...alasan paling tepat kenapa jam segini masih bersantai. Tak perlu
kutanya lagi, pikirku. Bergegas aku menuju kamar mandi. Aku ingat ingat
lagi...mana sabun, pasta gigi dan sikat gigiku. Individualistis?
Ya...mengasingkan diri dari orang-orang yang seharusya di dekatku.
***
Kantor yang sebenarnya cukup
nyaman, bersih, ramah dan untuk orang pemalas seperti aku, mungkin bisa jadi
alternatif. Kantor baru buka jam 9. Mungkin itu untuk mengatasi karyawan yang
telat karena rush hour, jadi sekalian disiangkan. Pernah ada teman yang datang
sampai kantor pukul 8, tapi malah kena semprot atasan. Alibinya, perusahaan
tidak mau membayar uang lembur. Hahaa....lucu sekali.
“ Galang, kamu dipanggil bos tuh,”
seru sekretaris kepadaku. Bergegas aku menuju kantornya dengan perasaan
berdebar, berharap kabar baik kuterima.
“ Galang, ini hari terakhir kamu
kerja. Ini pesangonmu. Semoga kamu lebih baik.” Bibirku terkatup, bingung,
kaget.
“ Tapi pak,”
“ Sudahlah, terima saja. Carilah
yang lebih baik dari sini.”
Apa maksudnya ini. Percuma juga
berdebat dengannya. Segera saja kukemas-kemas. Tak kupedulikan manusia-manusia
yang menatapku curiga. Diskriminasi. Itu yang ingin aku teriakkan. Tenang
saudara-saudara, aku cukup tahu diri. Kalian tidak akan tertular kalau hanya
sekedar berbagi handuk. Kalian akan mengalami seperti aku kalau aku menggauli
kalian atau darahku bercampur, merasuk ke tubuh kalian.
Sejauh aku berjalan dan berjalan, hanya debu
jalanan yang seakan menyapaku. Panas matahari tak terperi, tak kupedulikan
lagi. Aku tetap melangkah, menjauh-jauh, hingga matahari berganti gelap, peluh
berganti selang infus, kerasnya jalanan berganti dengan empuknya ranjang.
November, 17, 2014
Highland
Tidak ada komentar:
Posting Komentar