“Miss, nilai Aci kok jelek ya?”
“ Ini bunda, bisa cek hasil pekerjaan Aci ya.”
“ Miss, ini bener nilai Uci segini.?”
“Iya miss, sudah diotak-atik nih, gimana lagi ya”
Salah satu tugas pokok guru adalah memberi nilai, mulai dari nilai
harian, ulangan hingga raport. Tentu saja, penilaian itu harus sesuai dengan
materi yang telah diajarkan. Ya begitulah, materi dan evaluasi adalah satu
paket.
Lagi-lagi, karena beda zaman, beda kebijakan, pendidikan jadi
seperti horror, entah bagi siswa maupun pendidiknya. Pada dekade terakhir, populer
dengan istilah KKM. Apabila ada nilai di bawah KKM, maka dianggap aib. Dokumen
hitam di atas putih yang berwujud deretan angka juga menjadi kebanggaan sendiri
bagi orang tua. Dokumen itu pula sebagai pendukung marketing, dengan bagusnya
nilai, berarti proses pendidikan luar biasa tak peduli betapa kerasnya pertarungan
di dapur raportan.
Sebenarnya esensi pendidikan itu apa si? Begitu banyak meme ataupun
anekdot yang meniyindir. Mulai dari fabel yang mengajar semua jenis hewan untuk
terbang hingga anekdot guru matematika pun belum tentu bisa mengerjakan soal
bahasa Arab.
Ya memang, belakangan ini. sekolah memang jadi ladang bisnis.
Meskipun sifatnya seperti penyediaan jasa, tetap saja berbeda dengan lini
bisnis lainnya. Objek dari sekolah adalah para manusia dengan segala
karakternya. Tak hanya itu, kita menawarkan proses transfer ilmu dan itu tak
hanya sehari dua hari seperti orang seminar, tapi enam tahun pemirsa, kalau
cepat ya tiga tahun, pada jenjang lebih tinggi. Dalam kurun waktu tersebut,
para pendidik berjibaku dalam “melayani “ customer dalam membagi ilmu, menata pola pikir dan perilaku.
Jujur saja, masih banyak yang beranggapan bahwa proses “penggodogan” yang berlangsung berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun itu, bermuara pada sertifikat dengan daftar angka. Di
sinilah kualitas guru dan sekolah dipertaruhkan. Dengan perolehan nilai yang
bagus, maka di mata masyarakat akan di cap “ bagus “. Memang, tak bisa
dipungkiri juga, bahwa kualitas input juga ikut andil dalam proses ini. Input
dengan latar belakang yang bagus, ya memang sudah bagus dari sononya, gampang
dipoles, tentu akan meningkatkan kualitas sebuah institusi pembelajaran.
Apabila input bersifat heterogen, dengan kemampuan yang berbeda,
mungkin tingkat pencapaiannya bisa jadi berbeda. Seperti pada anekdot sekolah
hewan yang diceritakan sebelumnya. Dengan usaha yang sama-sama
berdarah-darahnya, anak yang “berbakat” matematika akan mudah mendapat nilai
tuntas daripada anak yang lebih menyukai drama. Intinya, standarisasi nilai
yang tinggi itu terlalu memaksa untuk kelas dengan passion, minat dan bakat
yang beragam.
Pada akhirnya, angka-angka sebagai hasil evaluasi itupun keluar.
Sebuah kegembiraan bagi murid dan juga guru apabila nilai di atas batas
ketuntasan. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya, maka merupakan PR
tersendiri bagi guru khususnya. Perasaan bersalah sudah tentu menghantui,
apakah saya tidak bisa mengajar? Apakah tes ini terlalu sulit? Sementara
memojokkan siswa tentu bukan suatu pilihan. Tak pandang bulu, apakah siswa itu
memang sedang malas, sakit, ada masalah atau kemampuan pemahamannya memang
kurang, pokoknya nilai harus standar ketuntasan. Serentetan tugas pun
menggelayut agar nilai merangkak...sim salabim bim......tak seperti jaman saya
yang mengenal “kebakaran” di raportnya hahaaa.....
However, kabar baiknya.... nilai yang berupa angka itu bisa
dikatrol dengan sikap positif dari siswa tersebut. Ayolah, cari titik positif
dari kepribadiannya,Insya Allah ada jalan.
Dan satu pertanyaan sebagai pamungkas dari tulisan ini ; dengan
passion siswa yang beragam, soal yang sama, ketuntasan yang sama....siswa
dituntut untuk jujur dalam mengerjakan tapi sudahkah guru jujur dalam
memberikan nilai??? Aaah......alergi kini tak hanya karena makanan ataupun situasi, kini mulai merambah ke nilai evaluasi hahahaaa......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar