Air Mata di Akhir Tahun
Entahlah, empat tahun rasanya begitu cepat. Empat tahun
rasanya tak cukup bagiku untuk mengenalnya lebih jauh. Sosok yang hadir hanya
beberapa saat lalu pergi menunaikan tugas. Dia memang diam. Tapi diamnya itu
berfikir dalam, sedalam lautan, tinggi, setinggi angkasa, melayang. Overall,
saya tahu, sebenarnya beliau juga berfikir tentangku, tentang
semuanya....bagaimana kita bisa survive.
Terpisahnya jarak, tak berarti kami saling mengabaikan. Justru
beliau yang selalu, setiap hari menelfon ke rumah, apalagi bila cucunya, dengan
bahasa batitanya ingin ditelfon, untuk hanya sekedar memainkan kabel telefon
rumah, sudah pasti dengan senang hati beliau untuk menelfon, meski terkadang
salah mengartikan maksud sang cucu.
Bagi kami, beliaulah teladan, rendah hati dan murah hati. Meski
sedikit terselip kekecewaan, kenapa anak-anaknya belum bisa meneladani beliau
terutama etos kerja yang tinggi.
Beliau yang cerdas, nun, meski jauh, terpencil tempat beliau
mengais rezeki, tapi selalu up-to-date. Meski beliau sudah berumur, tetapi
pengetahuan beliau boleh diadu. Saya sendiri, tidak begitu menguasai ilmu
eksakta, sedangkan beliau....can’t imagine...
31 Desember, 2014
Malam pergantian tahun. Kami kembali ke habitat, setelah
seminggu berada di kampung. Tak seperti malam-malam sebelumnya....malam itu tak
terdengar dering hape maupun telefon rumah. Ahhh....mungkin sedang traffic,
atau signal error karena cuaca. Malam tahun baru yang hambar, karena
sebelumnya, aku sudah mendengar kabar bahwa beliau akan mengambil cuti,
yaaa...kangen keluarga apalagi cucunya ( dimana-mana orang tua selalu lebih
sayang cucu daripada anaknya kan).
Pagi harinya, kita, kami mendapat kabar bahwa beliau pingsan,
kami pikir hanya pingsan biasa. Tapi tidak...bukan itu....ternyata beliau sudah
tak sadarkan diri sejak tadi malam. Oh..itu juga mungkin sebabnya, mengapa
beliau tidak menelfon.
Siang itu pula, dua orang dari keluarga, bergegas mencari
tiket pesawat, yaa....pasti untuk memastikan keadaan beliau. Singkatnya, habis
ashar mereka bertolak ke Makasar...ternyata rumah sakitnya cukup jauh. Setelah enam
jam perjalanan, barulah mereka sampai kota yang dituju. Kaget, sedih, shock,
tentu saja.
Diantara teka-teki, perasaan yang tak tentu....hingga suatu
siang, setelah shalat jumat, kabar itu datang. Malaikat Izrail telah menunaikan
tugasnya. Semua memang telah tertulis, tak ada seorangpun bisa menggugat. Kami sambut
awal tahun ini dengan berurai air mata. Selamat jalan, mungkin ini yang
terbaik............................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar