Langit di Geylang Serai tidak begitu cerah. Kulihan indeks
polusi udara masih batas toleransi. Tapi agaknya kabut ini mengangguku. Negara
tetangga itu memang, huh.....hanya gedhe wilayahnya saja, tapi menuntaskan
masalahnya lama sekali. Heran....bukankah banyak orang pintar di sana seperti
Habibie sang creator pesawat, Ricky Elson dengan mobil listriknya, apalagi dia
sudah banyak mengantongi paten dari negara tempat kuliahnya dulu. Apa-apaan
ini. Kalau tidak bisa mengelola negeri karena terlalu luas, kenapa tak kau jual
saja negeri yang indah itu ke sini. Sudah pastilah, mungkin oleh Lie Shien
Long, negara tetangga itu akan diubah macam Sentosa Island.
Aku mempercepat langkahku, mengejar MRT. Ada banyak hal yang
harus aku kerjakan. Aku harus menyelesaikan beberapa tugas makalah dari kampus
tempat dimana aku menimba ilmu. National University of Singapore. Keren kan????
Disana aku juga temukan beberapa mahasiswa dari negara tetangga “ perintis”
kabut asap. Tapi sepertinya dia cuek. Apa katanya???
“ yang penting keluargaku baik-baik saja. Aku kan tinggal di
ibukota...jauh dong dari asap.” Egois sekali yaa....mungkin karena negara
tetangga itu terlalu luas....semakin jauh, semakin pudar.
Ahhh....MRT ini sungguh nyaman. Bersih, harum, tidak
berdesak-desakan. Tak apalah aku tak punya motor atau bahkan mobil sendiri.
Yaa...jujur saja...I can’t afford them. They are expensive. Tapi
syukurlah....kami difasilitasi dengan angkutan umum yang memadai. Ada bagusnya
juga...dengan meminimalisir kendaraan bermotor, potensi untuk polusi udarapun
berkurang. Angkutan ini juga cepat dan tepat waktu. Saya hampir tidak pernah
terlambat menuju kampus atau kemanapun.
Selamat datang di flat. Tidak terlalu luas tapi bersih.
Mahal sekali kalau harus memiliki rumah. Ayah saya yang pemilik kedai teh Tarik
dan ibu yang punya usaha roti canai, sepertinya mustahil. Karena itu jugalah,
saya harus ambil part-time job. Selepas kuliah saya biasanya ke resto cepat
saji di Suntec. Tak banyak yang kuperoleh memang, tapi itu cukup membantu.
“ Ahmad, kapan kau selesai kuliah?” tanya Ibu.
“ mungkin setahun lagi Bu. Proposal untuk thesis masih
menunggu persetujuan.”
“ Ahmad, bisa kau bantu ayamu inilah heii....alat pembuat
teh tarik ini cukup merepotkan.”
Akupun bergegas menuju ayah. Yaa...biasanya jam pulang kami
tidak jauh berbeda. Selepas Isya. Ibu lantas menghangatkan makanan untuk kami.
“ Ahmad, Ibu berencana pulang sebentar ke Palembang. Tengok
saudara di sana. Dah lama sekali rasanya tak kesana. “
Kulihat ayahku hanya melongo. Yaa...saya yang peranakan
Melayu Indonesia dengan ayah seorang Singaporean. Tapi untungnya ayah
demokratis.
“ Ahhh ibu, tapi...”
“ Ahmad, paman bibimu kan juga rindu sama kamu. Ayah
sepertinya juga tidak keberatan.”
“ Tapi ibu...di Palembang masih tertutup dengan kabut asap.
Lihat..di Singapore saja sebagian memakai masker karena kadang polusi di atas
toleransilah.”
“ Ohhh...begitu ya...”
“ Siti, sebaiknya kau telponlah saudara di Palembang. “
“ Tepat sekali ayah. Kalau perlu, kerabat di sana suruh
pindah ke sini saja.”
“????? Ahmad ....ada ada saja kau ini. Mana maulah mereka,
meski disana kotor atau penuh polusi, belum tentu betah di sini. Lagipula flat
ini tidak cukup luas untuk menampung mereka.”
“ Huft....sudahlah. obrolan ini kita lanjut akhir pekan
saja. Sudah malam, sebaiknya istirahat. Jangan lupa kau sholat Ahmad.”
Saya mengangguk. Pesan itu
memang yang selalu diucapkan ole ibu supaya agama ini tetap tegak. Memang, kata
ibu, disini cukup banyak godaan dibanding negara tempat asalnya. Di sana bisa
dengarkan adzan dari kejauhan, tapi tidak di sini. Di sini adzan di
perdengarkan hanya di dalam masjid, bukan di luar. Yaaa....alarmnya ya my phone
cell. Iri juga sebenarnya....tapi yaa...sudahlah. bukankah tantangan itu yang
bikin kita lebih kuat dan tegar. Tidak seperti tetangga sebelah ; berpuasa
pakai nyuruh rumah makan tutup atau apalah. Lhaaa....dimana tantangannya???
***
Langit yang gemerlap. Diluar sana
masih ada yang tertawa, berlari, ataupun bergandengan tangan menikmati suasana
malam. Kampung halaman ibuku...apa kabarnya, kakek, paman, bibi??? Ingatan yang
melayang, ketika menatap indahnya sungai musi di atas jembatan ampera
palembang, pempek dan tempoyak yang menggoyang lidah. Tapi kini...pulau
penghasil oksigen menyegarkan malah menyesakkan dada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar