Darah itu memang mengalir dalam tubuhku. Aaah....lelaki tua itu,
entah konvensional atau skeptis, apapun itu, tetap saja, aku adalah bagian
cabang rantingnya. “ Kalau bukan kau, siapa lagi?” serunya tiap kali memberi
wejangan. Atas perannya, aku digojlog dengan alunan gamelan sementara yang lain
diperdengarkan jazz, pop bahkan murottal. Atas usulnya, aku mengambil ekskul
karawitan ketika berada di sekolah atas. Ekskul yang sebenarnya kurang diminati
termasuk diriku. Nguri-uri budaya jawa, katanya. Dan aku bisa apa. Kedua
orangtua pun sama, ibuku adalah seorang sinden dengan suara indahnya. Ayahku?
Setali tiga uang. Beliau adalah ahli kriya meski pekerjaan utamanya adalah
petani, bukan tepatnya juragan sawah.
Dauroh pertama, Gunung Kendil, Magelang....
Berawal dari penasaran akan akhwat jelita di kampus, aku iseng mengikuti dauroh bersama aktivis dakwah. Yah, itung-itung refresh setelah ujian
tengah semester, pun dengan setengah hati aku ikuti. Terang saja, wong ikhwan
akhwat ternyata berbeda tempat, mana bisa curi-curi pandang.
Mencari ilmu, begitu alasan yang kusampaikan kepada kakak di atas
levelku. Materi pertama adalah akidah. Apapula ini, bukankah dari lahir sudah
Islam, aku bisa mengaji, sholat beserta doa-doa sederhana. Yah...keciiilll.
“ Jadi, di sini, kita tak hanya belajar pengetahuan dasar tapi
tentang bagaimana amalan itu tak sekedar gestur, tentang amalan yang kaffah,
murni.”
Hah!!! Jadi mereka pikir aku ini hanya jungkit-jungkit, berlapar-lapar
namun tak berpahala. Huft.... kalem, ilmu takkan masuk kalau diraih dengan emosi. Kakak
tingkat itu melanjutkan ceramahnya. Bahasanya lembut dan tak bernada
underestimate sama sekali. Justru dia memberi semangat dalam beribadah. Tapi
aku hanya merasa datar, sampai pada materi amalan yang tertolak. What else???
salah satu penyebab amalan tertolak adalah musyrik. Haish.....kemenyan, sajen, adalah salah satunya. Damar, apa yang kau
lakukan selama ini??? Tanyaku dalam hati. Mereka memberiku nama Damar, sewangi
damar tapi fungsi salah satu damar adalah bahan dupa, penyempurna wewangian dalam sesembahan.
Tak hanya itu, demi mengembalikan akidah tauhid, kakak tingkat juga
menyertakan azab-azab bagi pelaku musyrik. Merinding ya Tuhan. Tobat ya Allah,
tobat.
Sepulang aku dauroh, lelaki tua itu memanggilku.
“Damar, dua minggu lagi Sapto, tetanggamu sunatan. Keluarganya
ingin nanggap kuda lumping sebagai hiburan. Siap-siap ya.”
Lidahku kelu, tidak menolak, tidak pula mengiyakan. Antara bakti
dan prinsip hidup. Bayang-bayang dauroh itu berkelebat. Harus mempunyai alasan
yang logis, pikirku. Malam itu aku keluar dengan memacu kuda besi beserta
pikiran yang berkecamuk. Antara sadar atau tidak, melawan kantuk dan lelah
hingga truk parkir itu terlewat dari penglihatanku.
Dengan tangan kugendong, rangkaian jadwal terapi pun menanti.
Menyesal? Tidak, karena dengan ini aku bisa menghindar dari show yang dua
minggu lagi akan ditampilkan. Tarian yang berbau menyan, sesajian yang berujung
pada kesurupan. Tak ada yang kecewa, dengan segera kakekku mencari gantinya.
Ah, pelan-pelan saja Damar. Mungkin baru dirimu yang menghindar, siapa tahu
yang lain menyusul.
You have to endure caterpillars if you want to see butterflies. - Anda harus tahan terhadap ulat jika ingin dapat melihat kupu‐kupu. (Antoine De Saint)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar