“Tidaklah
seseorang itu dikatakan beriman melainkan mereka yang mendapatkan ujian....”
Udara pagi masih
segar. Apalagi dengan pemandangan depan rumah yang ditanami berbagai tanaman
yang turut menyumbangkan oksigen sepanjang hari. Di teras nampak lelaki dengan
perkiraan usia setengah abad ditemani segelas teh dan rokoknya. Dia tidak
sendiri. Lelaki tua tampak dengan lunglai mendekati. Teras terbuka tanpa
gerbang geser memungkinkan orang dengan leluasa keluar masuk kapan saja. Aaah,
bukankah rumah yang damai itu rumah yang banyak “dimasuki”orang,....semoga
saja.
Sementara itu,
kaum hawa sedang di dalam. Ada yang di dapur, ada pula yang sedang
bersih-bersih Salah satunya dia. Perempuan yang lugu karena memang anggota
baru. Kikuk, pasti, bingung mencari topik pembicaraan, karena sejauh
ini....tidak ada yang menarik baginya.
“ Yaah, rumah
bapak masih begini Glad. Ini rumah Gladia juga. Semoga betah ya. Nanti ada
rejeki bisa diperbaiki,” ujar lelaki paruh baya itu. Dari nada bicaranya sudah
bisa ditebak kalau orang ini bijak dan cerdas. Berbeda dengan mereka yang
sedang bergumul di dalam. Sebenarnya masih dalam batas kewajaran Cuma memang
belum terbiasa bagi perempuan udik itu. Semua perlu adaptasi. Adaptasi?
Mengikuti arus? Tunggu dulu.....
“Dasar gobl*k,
gimana sih, begitu saja nggak bisa,”teriak wanita paruh baya dari sudut rumah,
Kata-kata itu diikuti dengan kalimat yang serupa, beg*, tol*l. Semua nampak
biasa saja tapi di sudut rumah yang lain, ada yang tersentak. Sementara itu,
tayangan tivi tetap menyala dengan acara yang sebenarnya tak begitu bersahabat
wanita desa itu.
***
“Nggak usah
diambil hati,” begitu ujar lelaki muda kepada Gladia. Aaah, terlalu sensitive,
dasar wanita.
Kesehariannya
dihabiskan seperti perempuan lain. Stay home sambil mendoakan pujaan. Nikmati
sebelum ia disibukkan dengan pekerjaan barunya. Ya nanti, kalau salah satu
lamaran kerja yang ia kirim diperhitungkan. Dan memang tidak lama,......tak
perlu menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan panggilan. Yah, meski freelance
cukup syukuri. Itu artinya masih punya waktu untuk mengurusi rumah. Ya rumah
yang satu atap dengan anggota keluarga yang lain.
Tak perlu ngoyo
karena perempuan sejatinya hanya membantu, bukan untuk pokok. Itung-itung agar
ilmu yang didapat selama empat tahun tak luntur begitu saja. Be happy as
always. Berangkat habis dzuhur pulang malam. Kalau beruntung diantar jemput
lelakinya, kalau kurang beruntung ya berangkat sendiri naik koasi.
***
Malam jelang
akhir bulan, tiba-tiba ponsel berdering. Ah dia, bukankah baru berangkat kerja.
Segera saja telepon itu diangkat Gladia.
“Hallo,
assalamualaikum”
“Nduk, tolong
jemput”
“Kenapa”
“ Aku jatuh”
“Jatuh,
kesrempet”. Dug, kepala Gladia seperti dihantam batu. Tenang, tenang Gladia,
pikirnya. Kalau orang masih bisa menelpon, berarti dia dalam keadaan sadar.
Huft, semoga tidak ada luka yang berarti. Tinggal berfikir, dengan apa
menjemput lelaki itu. Aargh, buntu, pikir Gladia. Disuruhnya mengunjungi
tetangga yang belum sepenuhnya kenal, gadis itu sedikit menggerutu. Kenapa yang
ribet Cuma dia, sedangkan anggota keluarga yang lain malah leha-leha.
Aih, give up, berbalik bertanya harus kemana. Sampai pada akhirnya ada angkot
tetangga menyapa.Ia pun bergegas ditemani beberapa orang ke tempat yang
dimaksud. Ya harus dengan orang, karena Gladia buta, buta arah dan alamat.
Hemmm,
baiklah, kini kesibukan bertambah. Mengurus lelaki yang jadi pendampingnya,
duhai Gladia. Tidak terlalu repot. Cukup membantunya mandi. Kalau untuk
berjalan dan sekedar makan, masih bisalah meski it takes time.
Karena lelaki
itu butuh waktu untuk istirahat, firasat tentang pekerjaannya pun berkelebat.
Dan benar saja, sebagaimana pekerjaan sekarang yang lengkap dengan embel-embel
kontrak, Kontrak kerja habis menjelang idul fitri tanpa THR. Kabar baiknya,
Gladia kini berbadan dua. Berhuznudzon kepada Allah. Himpitan ekonomi
membayangi tapi tak perlu panik berlebihan mengingat ada jiwa lain dalam raganya.
***
“Ya sudah, nggak
usah cek, toh tetangga nggak pernah cek brojol juga.” Mendadak pening. Gladia mulai
sedikit berontak kalbunya. Bukankah ini akan jadi cucu pertamanya???Apa tidak
bisa dijaga sedikit lebih sopan, pikirnya. Setiap hari mendengar umpatan
yang meski sebenarnya nggak maksud mendegradasikan. Namun tetap saja ada yang
menyeruak dalam dirinya. Hatinya bergejolak, ini bukan budayaku,
lirihnya. Mengikuti arus atau tetap bertahan pada prinsipnya. Ataukah
ini yang namanya egois, sensitif katrena tengah berbadan dua. Sementara itu,
lelaki itu mulai rapuh, menyalahkan diri sendiri karena belum bisa menjadi
selayaknya lelaki sejati. Fondasi iman mulai keropos......Tidak ada lagi tempat
mengadu selain kepada Pemilik Kalbu.
“Sungguh,
Allah menjadikan baik dari tiap perkara yang menimpa kaum muslim.”
Dan perempuan itu tetap dengan keyakinannya dengan berbaik sangka.
Optima, Desember
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar