“Lebih
baik memantaskan diri daripada menjalani hubungan yang tak pasti...........”
Gadis
itu berjalan tanpa ragu. Semester akhir yang cukup menguras waktu. Semester
akhir yang ternyata ada mata kuliah yang harus dia ulang. Perfeksionis? Selama
masih ada waktu untuk memprbaiki, kenapa tidak? Kalau toh hanya brkutat dngan
proyek skripsi pastilah akan jenuh, sepi karena yang berani mengambil skripsi
tidak begitu banyak, terutama angkatannnya. Justru yang lebih banyak adalah
angkatan kakak kelas. Kakak kelas? Bahkan kakak kelas pun ada yang bertanya
kepadanya, membantu mengalihbahasakan mulai dari abstrak sampai kesimpulan.
Dosakah, aahhh...entahlah, niatnya hanya membantu.
Daftar
aktivitas ia rapikan. Kuliah wajib, skripsi, mengajar kursus, mengaji, have fun
dengan maksud keep in touch dengan rekan seangkatan sampai kapan harus bertemu
dosen pembimbing, mengingat beliau dosen terbang yang tak bisa ditemui setiap
saat. Perlahan ia mengukir masa depan.
Aarrrggghhh........ada
yang sedikit mengusik fikiran. Materi kuliah apaan ini, batinnya. Memang sih,
dengan pribadi seusia gadis itu cukup pantas untuk membahas masalah ini,
Munakahat. Gadis itu menengok kanan kirinya dan tiba-tiba merasa salah tempat
duduk. Rekan-rekan di sekitarnya sudah semua menikah. Huftt......pikirannya
melayang jauh, hmmm....batang usia yang tak lagi muda. Butuh keseriusan, butuh
kepastian bukan kata-kata gombal.
Entah
apa yang terjadi dalam dirinya. Seperti ada yang ada ia dambakan tapi tak tahu
apa, siapa dan dimana. “Fokus Glad,bukankah kesibukanmu telah banyak menyita
waktu” ujarnya dalam hati.
Disela-sela
kesibukannya, masih sempat juga baginya untuk membaca. Apa saja yang menurutnya
menarik, dari novel hingga buku motivasi. Dan kini giliran karya Faudzil Adhim
lah yang nangkring di tangannya.
“Cie....cie,
dah siap nikah nih yeeee,” ledek
temannya. Gladia tersenyum tipis sambil menggeser tempat duduknya.
“ah
enggak Phi. Cuma nambah ilmu, buat bahan makalah pekan depan.” Makalah???
Hanya itukah??? Sampai sekarang memang belum ada tanda-tanda. “Duh, Gladia,
tenang, semua akan menikah pada waktunya”, bisiknya dalam hati.
“Hahaha....Gladia
memang suka merendah, tar tahu-tahu bulan depan nyebar undangan lagiii...”,
tambah gadis periang itu sambil berlalu. Gladia melanjutkan membaca buku dengan
menjaga hati agar tetap netral dan berlogika. Memang, keinginan itu kadang muncul
tapi buru-buru ia tepis. Teringat ia
dengan kata salah seorang teman, siapkan diri untuk menjadi pasangan yang
baik, bukankah wanita baik untuk laki-laki baik. Baiklah......jadikan puasa
sebagai salah satu perisai karena Allah tahu waktu yang tepat.
***
“Nggak
ada yang kamu kagumi Glay?”tanya sahabatnya suatu hari.
“Ehm,
kalau Cuma kagum si ada. Tapi ya sudahlah, nggak terlalu mikir, entar kalau
jodoh juga jadi-jadi aja,”jawabnya santai.
“Gimana
kalau sama sepupuku saja,”. Uhuk.....gadis itu kaget. Sepupu yang mana??? Tanpa
ditanya, Selma, begitu biasa gadis itu disapa, berbicara panjang lebar. Siapa
lagi kalau bukan sepupunya, tentang lelaki itu.
Gadis
itu ragu, secepat itukah. Tidak, belum, belum tahu. Mau kemanakah dia? Beberapa
rekan dakwahnya berjodoh melalui murobbi tapi ia memutuskan sendiri.
Sebagaimana yang ia peroleh dari kuliahnya di tahun terakhir, jika merasa
risau, Istikharahlah. Digelarnya sajadah di sepertiga malam mengharapkan
kebaikan dari semuanya.
***
Perlahan
keyakinan itu pasti meski tak pernah bertemu sebelumnya. Semoga ini pertanda
baik. Lelaki yang tak pernah dia kenal sebelumnya kini hendak mengetuk pintu
hatinya.
Selang
beberapa waktu, lelaki itu datang. Mereka berdua bertemu. Entah kenapa,
mulutnya terkunci. Tak ada sepatah kata yang keluar. Selma bingung.
“Sel,
aku pulang dulu ya, ngaji nih.” Gadis muda itu berpamitan dengan sahabatnya. Tak
ada tegur sapa. Begitu juga lelaki asing itu. Dingin, kaku. Sementara Gladia
sendiri adalah sosok pemalu yang bermasalah dengan komunikasi verbalnya.
“Menghadaplah
ke orangtuaku kalau ingin serius,”.....sebaris pesan itu terkirim ke pemuda
asing itu. Sepertinya Gladia memberi lampu hijau. Begitu simpelkah? Gadis itu
hampir tak percaya. Bukankah mencari jodoh itu diutamakan lidiniha, baik
agamanya yang nanti akan membawa ke kebaikan pula. Dan dia juga tak mau
dianggap wanita cela yang menyusahkan dalam pernikahan. Tinggal keputusan di
tangan orang tua. Semoga menghasilkan hal yang serupa.
***
Semua
tinggal menghitung mundur. Meski terpisah jarak, berharap berjalan dengan baik.
Gladia menyibukkan dengan kegiatannya dan lelaki itu sibuk dengan pekerjaannya.
Tak banyak yang tahu bahkan teman sekampusnya. Toh, akhir-akhir ini memang
jarang berinteraksi karena urusan perkuliahan tak begitu padat.
Sementara
itu, selepas magrib....Gladia menerima pesan dari orang yang tak biasa. Gadis
itu memang jarang berkomunikasi dengan jenis panggilan dan sepertinya
teman-teman sekitarnya sudah tahu. Aaah....kakak tingkat yang sekarang jadi
dosen bantu di almamaternya. Ada apa gerangan? Dia memang akrab karena sering
bertemu tapi hampir tidak pernah berkomunikasi lewat ponsel. Toh,
seakrab-akrabnya, ketika ngobrol mesti cari pandangan lain atau berjarak tak
boleh kurang dari 1 meter.
“Mau
menikah denganku? Maaf, lancang, karena saya tahu, kamu tak butuh hubungan
seperti yang lain, berpacaran.”
Allahu
Akbar....seandainya....seandainya.....Aaargh....sekarang sudah terlambat,
kenapa baru sekarang??? Gadis itu tak mau menuai akibat buruk karena
membatalkan pernikahan yang sudah direncanakan. Sungguh.....
“maaf
kak....saya sudah dijodohkan....”
“Tidak
apa-apa, semoga bahagia”
Huft......karena
tidak bertemu muka, semoga tidak terlalu kecewa.
optima,
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar