“Dan bahkan sesuatu yang diawali dengan istikharah pun tidak
menjamin bahwa semuanya akan lurus dan mulus kedepannya. Disinilah kita belajar
kata sabar dan iman......”
Perempuan muda itu menderap langkahnya menuju tempat kerja.
Sesekali anak didik menyapa yang ia balas dengan senyuman dan mengulurkan
tangan tak lupa mengucap salam. Semburat mendung kadang nampak di ronanya tapi
dengan begitu rapi, pelan-pelan mendung itu berubah menjadi cerah atau...paling
tidak, ia memunculkan rangkaian pelangi di wajahnya.
Begitu
tiba di singgasana kerja, seperti biasa, ia menyibukkan diri dengan laptopnya.
Entahlah, apakah itu berkas kerja atau hanya akting, nobody knows. Seringkali
cletukan-cletukan humor keluar dari bibirnya yang melenturkan kekakuan pagi.
Ada saja lelucon yang terlontar yang sanggup memecahkan keheningan. Ya, awali
hari dengan tertawa atau sekedar senyuman, semoga hari ini menyenangkan.
“Glad,
ngajar berapa kelas hari ini?”. Teman sebelahnya mengajak berbincang ringan,
sekedar basa-basi mungkin.
“
Cuma dua kelas beibeh. You know lah, tahun ini banyak jam yang dipangkas. It’s
okeylah. Bisa otak-atik blog aku yang masih abal-abal nih sekalian cari banyak
referensi buat belajar.”
“
Eh, Glad, akhir pekan ini kita nonton yuk. Ada film baru tuh.”
“Ehm,....gimana
ya....aku pikir-pikir dulu ya.”
“Aku
bisa tebak, aku paham.Karena bocil kan” tukas temannya. Perempuan muda itu
tersenyum tipis. Begitu bel masuk berbunyi tanda kelas dimulai, ia pun beranjak
menghilang dengan salam yang sayup-sayup terdengar.
Pun
setelah ia mengajar. Jarang dia mengeluhkan peserta didik apalagi dibahas dalam
forum. Dia berbagi cerita sebatas hal yang konyol, nggak berbobot dan nggak
serius.
****
Begitulah
geliat perempuan muda yang berusia menjelang tiga puluh tahun. Jarang sekali
mukanya muram melainkan dengan menyajikan muka cerah tidak ada masalah.
Teman-temannya berujar, kalau bercanda dengan perempuan yang bertubuh mungil
itu cukup enak. Ya, karena sekencang apapun perkataan orang, ledekan orang, ia
hanya akan menganggap seperti angin lalu. Take it easy katanya. Tak
mengherankan kalau ia mudah bergaul, easy come, easy go. It seems that she has
no enemies. Ya, mungkin karena durasi emosi tidak berlarut-larut atau
mungkinkah dia itu pelupa,.....entahlah......karena memang tak seorang pun bisa
menebak isi hati. Menebak karakter orang bisa mudah tapi tak begitu dengan urusan
hati. Dan aku pun hanya bisa menebak. Tebakan yang cukup aku yang tahu dan aku
abaikan karena tidak ada urusan dengan aku.
****
Pagi
yang menyejukkan. Orang bilang ini adalah laut dan akan berlangsung seperti ini
hingga akhir tahun nanti. Setidaknya cuaca seperti ini membuat aku lebih
bersemangat menempuh jalanan yang begitu hectic. Bersyukurlah, hari ini tidak
hujan, batinku. Tiba-tiba suara ponsel berbunyi. Yah,,....pesan....tapi
nomernya tidak aku kenal.........
“Sir,
can i have talk with you?”....Kujawab
dengan bahasa sebisaku. Yah, Cuma bahasa tulis , it’s easy...
“About
what?” Kulihat dia pun sedang mengetik.
Aku perhatikan nome itu, dan ternyata........dia...orang yang kujumpai selalu
tertawa setiap hari.
“Anything.
My home was like a hell last night.”
“Okay....”
Kututup
ponsel dan segera meluncur ke tempat kerja. Sedikit kupacu sepeda motorku
mengingat hari beranjak siang. Jalanan ibukota dan penyangganya memang bisa
membuat emosi jiwa. Agar otak ini waras, aku netralisir dengan shalawat. Yah,
kalau pun terjadi apa-apa atau terburuk sekalipun, lisan ini berbekas dengan
keindahan bukan kata-kata umpatan karena emosi jalanan.
***
Sedikit
berbeda memang. Matanya lebih sipit dari yang sebelumnya. Sedang pilek, begitu
ia bilang pada teman-temannya. Bukan....ini bukan sekedar pilek. Semburat pilu
bisa kusaksikan tapi tak berani aku ungkapkan. Biarlah dirinya, dari mulutnya
yang akan berucap nanti.....Iapun hanya termenung, sendu, syahdu dalam lantunan
doa dhuha yang tak pernah bisa aku dengar.....
Hingga
menjelang dzuhur aku terima pesan bahwa dia berada di jauh kerumunan.
“Kenapa?”
tanyaku. Dia menunduk, terkadang membuang muka. Bukan,bukan karena ia benci
tapi menjaga pandangan.
Dia
bercerita, panjang kali lebar. Mulai dari temperamen pasangan, mertua yang
ngoceh-ngoceh nggak jelas, tekanan batin. Bulir-bulir air itu menetes.
Aahh....dasar perempuan, prosentase perasaan lebih banyak daripada akal atau
memang aku yang keras. Tidak. Tugasku adalah mendengar dan mengambil posisi
netral. Aku tidak perlu mengikuti arus yang menye-menye seperti ini karena aku
sudah sering mendengar problematika serupa. Nampak berat baginya, semua sudah
kuduga.
“Ratusan
alasan untuk meninggalkan tapi sejuta alasan bagiku untuk bertahan. Gladia,
begitu orang tuaku memberi nama. Itu agar saya tetap bergembira meski pahit menyapa.”
ujarnya lirih.
“Sungguh,
Allah tidak akan memberi ujian di luar kemampuan hambaNya. tapi benar lho, rapi
sekali dalam bersembunyi.”
“
Cukuplah Allah sebaik-baik penolong. Kalau toh saya cerita ke rekan-rekan,
belum tentu dapat titik terang. Makasih buat nasihatnya.” Dia beranjak
pergi.....lidahku kelu, tak pantas rasanya kalau harus bersuara keras untuk
mengingatkannya. Hanya sebatas tulisan di lini pesan, “Jangan lupa shalawat,Insyirah
dan ummul kitab. Semoga menjadi lebih baik.”
***
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKlo Aq lbih suka pelangi drpd hujan, tp mending hujan drpd petir, lho lhoooo :)
BalasHapus