Kalau mencintai itu menyakitkan, cukuplah bagiku untuk mengagumimu
saja......
Koridor kampus kecil masih lengang. Belum banyak mahasiswa yang
datang karena perkuliahan baru dimulai 7.30. Selain itu, saaat ini memang masa
reses bagi mereka para agent of change. Ujian semester sudah berakhir. Mereka
ke kampus untuk mengecek nilai atau kalau yang beruntung bisa mengikuti kuliah
semester pendek. Beberapa menghabiskan masa liburan dengan pulang kampung
halaman, piknik atau jaga kandang memantau keadaan.
Gadis berjilbab lebar itu
mengeluarkan hape mungil untuk sekedar memecah kebosanan sekaligus mengecek
waktu. Aaah, pantas saja, it’s 06.45. Tapi tak apalah. Terlalu bersemangatkah?
Mungkin, karena telah seminggu tak bersua dengan rekan-rekan halaqohnya. Demi mengusir
kejenuhan, ia membolak-balik, membaca sepintas buku motivasi “From Zero to
Hero” ditemani dengan lantunan nada-nada Izzatul Islam. Gladia begitu ia biasa
disapa.Tak lebih dari setengah jam jilbaber itu bergabung dengan sahabat
halaqohnya. Sudah beberapa bulan gadis berperawakan kecil itu sedikit berubah.
Berhijrah? Mungkin.
“Assalamualaikum, Glay, sudah lama menunggu ya?”
“Walaikumsalam Husna....nggak begitu lama kok.”
“Ya udah, kita berangkat sekarang yuk.”
Gladia bersama kawannya mulai beranjak. Beberapa memang ada yang
bertanya-tanya kenapa gadis yang selama ini agak nyleneh itu bisa tiba-tiba
bergamis dan memanjangkan hijabnya. Memang, perubahan tidak ada yang tahu
pasti, termasuk apa yang terjadi dengan gadis yang berIPK tak pernah kurang dari
3. Introvert. Begitulah kata teman-temannya. Ia bisa berbagi canda tawa tapi
tidak begitu dengan pribadinya, isi hatinya......
***
Liburan semester yang berlalu begitu cepat. Perkuliahan segera
dimulai. Kampus mulai ramai entah dengan wajah lama atau wajah-wajah baru. Tak
terlalu kelihatan, mana mahasiswa yang benar-benar baru fresh graduated
SMA dan mana yang mahasiswa transfer. Mereka
berbaur dalam komunitas yang tidak memandang senioritas, termasuk lelaki
itu.....
“Kamu, Gladia? Saya Cleverian.” Keduanya cukup dengan mengatupkan
masing-masing tangan. Pemandangan yang lazim terjadi di kampus Islami ini.
Gadis itu sibuk menata buku-buku dengan ratusan judul yang tidak semua paham.
Terang saja, karena buku tersebut
ditulis dengan bahasa Inggris.
“ Ada buku Francesca Taylor?”
“Oh, bisa dicari di folder English Course yah,” gadis itu
mengarahkan ke rak paling ujung. Buku-buku serius dengan materi grammar dan
teori-teori linguistic berada dalam satu folder. Tanpa banyak bicara, lelaki
itu menuju rak yang dimaksud. Semua fokus dengan aktifitasnya.
“ Aku pinjam buku ini yah. Oh ya, mohon bantuannya ya kalau aku ada
kesulitan dalam Bahasa Inggris.” Gadis itu mengernyitkan dahi. Belum sempat
dijawab, lelaki bertubuh jangkung itu beranjak pergi.
Apa aku terkenal?,
batin Gladia. Aaah, mungkin kebetulan saja, kebetulan Gladia yang jaga di perpus
khusus literatur bahasa Inggris. Hemmm......jantungnya berdebar-debar.
Kalau tidak di English Centrenya, pasti ia sedang ikut kuliah, atau
mungkin di masjid kampus. Tak banyak circle of friends dan tempat kongkownya.
Memang, sesekali ia diajak teman sekelasnya bersafari, having fun, tapi toh itu
tidak terjadi setiap hari. Yah, at least, bisa refresh otak.
“Glay, ada waktu?”, Lelaki itu lagi. “ Kamu ambil kuliah poetry
kan?, bantu buat parafrase ini ya.?” lanjutnya.
“Robert Burns? pasti yang Red
Red Rose.” tukas gadis itu
“ Ada ide lain?” Tanyanya.
“Coba cari literatur Luis Stevenson.” “ Tapi waktuku tidak
banyak yah, ada Research dan siswa les yang menunggu.”
“Baiklah Glay, nggak masalah.” Lagi, ada hal yang menyesakkan.
Mencoba mencuri pandang tapi justru makin berdebar. Buang muka, yah, buang
muka. Ini bukan berarti tidak suka tapi lebih menjaga pandangan.
Ya Tuhan, tetapkan hatiku untuk selalu kepadaMu, batinnya.
Tidak sampai satu jam, diskusi berakhir bersamaan dengan Adzan
Dzhuhur. Gadis itu bergegas menyambut panggilan suci. Langkahnya pasti.
*****
“Hey Gladia, kamu itu ada yang kamu taksir gak sih? Please deh,
sudah dua tahun lebih masih jomblo saja.” Ledek temannya. Kadang ia juga
berkumpul dengan beberapa teman sekelas yang mangkal di kost-kostan salah
satunya. Memang, diantara mereka, yang masih free Cuma Gladia.
“ Nggak punya waktu buat mikirin begitu Sas. Sudah sibuk di....”
“Halah, pasti kamu kikuk dengan jilbab lebarmu dan teman-teman
ngajimu itu toh? Kamu normal kan?”
Kecut. Tapi dengan segera perasaan itu buang. Semua orang bebas
mengungkapkan pendapatnya. Biarlah itu jadi cerita nanti. Anggap saja bergaul
dengan mereka sebagai piknik dengan segala kegokilannya. Pengalaman jadi
beragam, tak melulu ngaji, jihad, target hafalan, LDK dan sebagainya.
“Terus, kemarin, kamu diskusi sama siapa? Boleh tuh. Tapi kayaknya
kamu nggak peka deh, buang muka mulu.”
“Yeee....Phi, itu Cuma bahas tugas poetry doang, Dzhuhur juga
kelar.” jawabnya ngeles. Ngeles atau.....entah. Pikirannya melayang. Kenapa
tidak melambat-lambatkan diskusi. Kenapa juga beralasan nggak hafal nomer hape
dan kebetulan hape mati. Aaarghh.....Hilang kesempatan, maksudnya??
***
“ Hai Glay, semangat sekali kelihatannya.” Cleverian,......
“Oh ya, perasaan aku tiap hari begini deh.”
“Oh ya, kenalin, ini teman-temanku dari kampus yang lama, Sheryl,
Hasyim dan Ridwan.”
Cantik Sheryl.....ujar Gladia
dalam hati. Aarrghhh,.....kenapa juga membatin yang perempuan, bukankah di
sampingnya ada dua lelaki. Biasa, manusia selalu memandang hal yang kurang
daripada yang lebih.
Tak butuh banyak waktu baginya untuk menghilangkan perasaan yang
berkelebat di fikirannya. Pergi ke perpus, project mading, kuliah Research yang
butuh pemahaman lebih bagi orang dominan otak kanan. Sepanjang masih bisa
happy, tak perlulah memikirkan yang belum pasti, apalagi untuk urusan hati.
Cemen?Pengecut? Bukan. Bukankah lagu mengajarkan kalau sakit hati lebih sakit
daripada sakit gigi???
***
Ahad, menjelang UTS. Gladia justru menghilang dari peredaran. Hanya
datang sesekali. Tidak banyak yang tahu, toh memang dunia perkuliahan tidak
lazim dengan izin tidak masuk. Absen ya absen saja, sepanjang presensinya masih
75%, itu masih ditolerir.
Gadis itu bersama komunitasnya. Menderapkan langkah kaki, sesekali
melantunkan dzikrullah. Di malam hari dihabiskan dengan teori dan bermalam di
salah satu rumah penduduk. Ukhuwah yang begitu erat membuat sejuk di hati.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi, menyiratkan pesan. Nomor asing tapi dengan
sopan bertanya.
“Gladia, dimana?”
“Kenapa?”
“Bertemu”
“Untuk apa”
“Komitmen”
“Komitmen apa?”
“Perasaan”
“Maksudnya”
“Pacaran. Pacaran syar’i”
“Tidak ada syar’i. komitmen sebenarnya adalah ketika kau berakad”
“Aku belum siap”
“Maafkan....”
Tidak ada jawaban.....
Tangan gadis itu serasa kaku, hatinya beku. Yaa muqollibal qulub.
Aku mengaguminya tapi aku ragu. Tetaplah aku begini sambil memantapkan hati.
“Hanya sebatas kagum, tak perlu ditempatkan di relung hati....”
Optima, Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar