Masyarakat kita memang dikenal sebagai masyarakat yang reaktif,
entah itu hal yang baik maupun buruk. Berawal dari kepo dan viralism, semua
jadi tahu. Dibalik berita tersebut ada yang peduli, ada yang nyinyir adapula
yang sebodo teuing emang gue pikirin.
Beberapa hari yang lalu( atau bahkan sekarang pun masih) sempat
berisik dengan wacana Full day school. Beberapa kalangan pun ikut berkomentar
akan rencana pak Muhadjir. Katanya sih, sudah dipertimbangkan, tapi ternyata
isu tersebut juga menimbulkan pro dan kontra.
As for myself, Full Day School Ataupun Half day school
masing-masing punya plus dan minusnya. Kata anak muda sekarang mah, keduanya punya
fanbase sendiri-sendiri. Para orang tua punya alasan tersendiri untuk memilih.
Perlu diketahui bahwa Indonesia mempunyai demografi yang
berbeda-beda. Sosial budaya di Jakarta bisa saja berbeda di salah satu desa
pelosok di Sumatra sana. Jakarta dengan dinamikanya yang lebih ribet, sebagian
ada yang hedonis, materialistis ( tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan ibukota
lebih mahal). Bagi mereka yang sibuk, kedua orang tua bekerja, mungkin lebih
memilih full day dengan pertimbangan anaknya berada di lingkungan yang
bertanggungjawab. Kalaupun toh di rumah ada ART, mungkin ART tersebut tidak
punya power sebagaimana guru, seperti membiarkan seharian main games, nonton
tivi ataupun youtuban yang seronok. Kalau di sekolah anak diharapkan untuk
lebih teratur, punya tanggungjawab. Selain itu, biasanya full day school yang
islami akan menyematkan materi ngaji untuk anak didiknya sehingga tak perlu
lagi TPQ. Selain itu, ada juga sekolah setingkat SMA yang sampai sore dengan
tujuan anak muridnya tidak banyak keluyuran nggak jelas apalagi tawuran,
hadeehh. Yaa memang untuk Full Day school memang cukup menguras kocek, ya
iyalahh, sekolah menanggung makan siang, menyediakan guru ngaji dan
paketan-paketan lain.
Bagi masyarakat kampung yang sosialnya masih erat, budaya yang
masih mengakar, mungkin gagasan ini tidak cocok. Mereka biasanya punya peliharaan
macam kambing yang biasanya mengharuskan anak-anak merumput, angon kambing atau
sekedar ngrangsum ayam di sore hari. Dengan ekonomi yang pas-pasan, mereka
lebih suka anak-anak mengaji sore hari di mushola terdekat dengan biayanya
cukup murah, cincailah sama ustadznya. Anak-anak di pelosok sana masih bisa
menikmati semilirnya angin sore tanpa polusi sambil baca buku di bawah pohon
ditemani kambing-kambingnya. Lepas itu, magrib mereka ke surau mengaji
bersama-sama.
Begitulah. Beda masyarakat, beda pendapat. Tak perlu ngotot harus
full day ataupun half day. Semua ada alasannya masing-masing, mana yang lebih
cocok, yang nyaman untuk orangtua dan calon siswa. Saya sendiri berada di full
day school but i am alright, enaknya Cuma lima hari kerja, sabtu libur. Bagi
yang half day tak perlu risau tak ada peminat. Keadaan lingkungan di Bekasi
jelas beda dong sama Ciraos.
Kembali lagi, bahwa Full Day
maupun Half day menurut saya adalah preferensi anak dan orang tua. Memang,
keputusan Full Day school tidak bisa dipukul rata untuk semua kalangan, untuk
semua daerah. Tapi ini juga bukan
berarti Full Day itu buruk, half day yang terbaik.
Yang penting pak menteri, konsistensi, kurikulum gak usah
berkali-kali ganti. Keberhasilan suatu kurikulum tak bisa dilihat hanya dalam
kurun waktu setahun kok. Jangan bikin galau para pendidik deh, yang ini belum
mudeng, terbit yang lain...olalaaa....
Mbak, kalau di DKI Jakarta sudah berapa tahun ini, sekolah Senin-Jumat, Sabtu libur..Maksudnya full day seperti itu apa ya? Enaknya, Sabtu-Minggu bisa acara keluarga sih..:)
BalasHapusnek sepengetahuan saya full day itu sehari, ya nggak sampai maghrib juga si, biasanya ashar, aktifitas memang lebih padat, enaknya sabtu libur, atau biasanya utk keg ekskul. tp ada jg yg sampai zuhur, sabtu skul. ekskul biasanya di weekdays. atau biasa krn keterbatasan ruang, jd ada yg masuk siang, gantian kelas. kyk gt kali ya mbk @dian Restu
Hapus