“Karena
desiran ombak menepikan sampah yang hendak mengotori laut, begitu juga masalah
yang menghujammu....”
PRANG, BRAKKKK.....!!!!
Lelaki itu
membanting pintu, mengacuhkan seseorang yang baru saja tiba. Keluar, pergi,
entah kemana.........
****
Aku hanya diam, tak bisa berkata-kata. Dilihatnya serpihan
gelas berserakan di ruang tamu. Batinnya hanya menenangkan diri sambil
beristighfar supaya tidak ikutan tersulut api emosi. Sementara itu, wanita
paruh baya terisak di sudut ruang, berjalan menuju kamar.
Bingung, apa
yang ia harus tanyakan, dengan pilu ia memungut serpihan itu agar tidak melukai
yang lainnya. Ah, lelaki itu.....beginikah yang aku kenal??? bisiknya. Tidak,
tidak. Aku belum cukup mengenalnya. Setahun tak cukup untuk mengenal karakter
seseorang. Menurut informasi yang aku terima, dia tidak begini. Tahun-tahun
pertama memang berat, begitu kata temanku yang sudah belasan tahun mengarungi
biduk rumah tangga. Itu katanya yang sebelumnya ia awali dengan masa pacaran
cukup lama. Sedangkan aku? Mungkin bisa lebih berat daripada yang sekedar ia
ucap. Kami memang tidak mengawali sebagaimana pasangan pada umumnya. Dia
memperkenalkan dirinya karena ia memang sedang mencari pendamping hidup. Jeda
waktu antara perkenalan dan peresmian pun kami habiskan dengan kesibukan
masing-masing. Ia di sana dan aku di sini.
Dan wanita paruh
baya itu.....kenapa hanya bisa menangis dan masuk kamar??? Sungguh, tak ada api
tanpa asap. Yang aku tahu, ia memang kadang kalau bicara suka nyeplos kalau
kita buru-buru masukkan ke hati, kita sendiri yang stress. Jangan-jangan,
apakah kejadian baru saja juga diawali dengan perdebatan? Memang, keadaan yang
sekarang bisa dikatakan sumbu pendek. Imamku masih rapuh karena kecelakaan
kecil yang berakibat putusnya kontrak kerja. Belum lagi kena tipu teman
seperjuangannya yang mengakibatkan kerugian materi yang tidak sedikit. Belum
lagi ia harus berjuang demi melepas ketergantungannya terhadap rokok yang
selama ini menjeratnya. Sementara, hidup semakin berat dengan biaya hidup meningkat.
Tak banyak yang bisa aku lakukan selain menjadikan Allah dan sabar sebagai
penolong.
Malam makin
larut, keadaan rumah sunyi. Terdengar ketukan, ah....siapa lagi kalau bukan
dia. “Sambutlah Sarah”, bisikku. Jangan mengucap kata-kata yang bisa mendidihkan
otaknya.....
“Waalaikumsalam...”.....Jawaban
salam yang tanpa pendahuluan. Diam, beku. Lelaki itu meraih remote tivi. Aaah,
masih aman karena ia menyalakan dalam volume normal. Tanpa ia suruh, aku
menyajikan kopi sebagai minuman favoritnya. Aku periksa lini pesan di hapenya.
Ah, masih bisa ditolerir. Kesuntukannya ia lampiaskan dengan bermain PS bersama
teman masa kecilnya. Sepengetahuanku, temannya baik-baik, tidak ada yang
terlibat hal-hal maksiat semacam alkohol, narkoba maupun wanita. Ya Allah, semoga
bisa diperbaiki.
Aku mematikan
lampu kamar dan beranjak ke peraduan. Biarlah, ia berusaha sendiri mengalahkan
emosinya. Belum, belum saatnya aku bicara.....
Terdengar derit
pintu terbuka.....ia menyusulku rupanya....
“ Maafkan aku
Sarah...” lirihnya sambil mendekatiku.
“Kamu tidak
melakukan apa-apa terhadapku Arga.”
“Kamu pasti
sedih melihat kejadian tadi...”
“Kamu kenapa?”
tanyaku
“Aku tidak
terima dengan kata-katanya.” Huft, sudah kuduga.
“Memalukan
lelaki yang menggantungkan diri kepada seorang perempuan,” lanjutnya.....
“Sudahlah,
jangan terlalu dipikirkan.”
“Ah, kamu tak
tahu kalau lelaki itu me...”
“Ya, laki-laki
melibatkan harga diri Arga. Tapi tak semua kata-kata yang terlontar kamu
masukkan ke hati. Kalem. Kalau tidak sepaham denganmu, lebih baik beristighfar
daripada meluapkan emosi yang justru merusak semuanya.”
“Sarah, kamu
menggampangkan....”
“Arga, justru
kamulah yang mempersulit. Di mana keshalihan yang dulu pernah kau tawarkan
untukku? Sudah berapa sholat yang kamu tinggalkan? Sejak kapan kata-kata kebun
binatang menggantikan istighfar dan sholawatmu?”
“Aku hanya...”
“Atau aku rasa
kamu perlu mengganti namamu. Arga, keangkuhanmu seperti gunung yang
melambangkan namamu. Anggap apa yang menimpamu adalah ujian. Kamu nggak
sendirian. Kamu pikir aku mau hidup seperti ini?”
“Kalau kau tidak
suka dengan ini kamu bisa meninggalkanku Sarah.”
“Bukan maksudku
begitu Arga. Kamu bisa lebih baik daripada ini. Kamu ini seperti orang yang
nggak punya pegangan.”
Bulir-bulir
jernih itu mulai keluar dari kelopak matanya...
“Sarah, kenapa
kamu tetap di sini? Aku nggak pantas buatmu. Aku menempatkanmu dalam posisi
yang tak layak bagimu.”
“Kalau aku pergi
apa itu akan menjamin aku lebih bahagia???”
Dia keluar dan
aku masih bertahan di ranjang. Kupaksakan mata ini untuk terpejam. Sabar
Sarah,....simpan tenagamu buat esok hari.
Tak lama iapun
masuk. Lamat-lamat kupandang mukanya. Agak basah. Ia lantas menggelar
sajadahnya menunaikan ritualnya. Lama...lama....tak tahu sampai kapan ia
mengakhiri munajatnya sampai mata ini terlelap dengan sendirinya.
“Aku memang bukan Fatimah yang
pantas untuk mendapatkan Ali,bukan Aisyah yang pantas untuk Nabi. Tapi aku
juga tak ingin seperti Asiyah yang sampai akhir hayat, suaminya tetap berkubang
dalam kekufuran.Surga terlalu luas untuk ditempati sendiri”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar