“Alasan apalagi
yang akan kau lontarkan untuk menolak lelaki itu Kanya?”
Wanita muda itu
terdiam mendengar celoteh kakaknya. Sesekali ia mengotak-atik ponselnya yang
mengisyaratkan kejenuhan.
“Kak, aku masih
ingin fo..”
“Ingin fokus ke
karier maksudmu? Kan bisa sambil jalan. Toh kamu adalah wanita yang tidak
ditakdirkan menjadi tulang punggung”, ujar kakaknya sambil mengelola emosi.
“Kalau semua
wanita adalah tulang rusuk, lalu kenapa ibu selalu lebih sibuk dibanding ayah?
Kenapa ibu yang membayar kebutuhan kita?”
“Kamu nggak tau
apa-apa Kanya.”
“Aku punya mata
dan telinga kak” bantahnya.
“Apa kau tidak
mau seperti teman-temanmu yang memamerkan gaya lucu anak-anak mereka. Kamu
sudah lebih pantas untuk hal itu.”
“Kakak baru
punya anak setelah 10 tahun menikah. Dan dalam rentang waktu itu pula kakak
jatuh bangun mempertahankan rumah tangga.”
Gadis itu mulai
menaikkan tensi sementara sang kakak berharap tidak terjadi letupan yang
berarti. Apa yang dikatakan adiknya memang ada benarnya. Tapi ia sangat ingin
ada seorang pendamping yang bertanggungjawab atas adiknya setelah kematian
ibunda dua tahun lalu. Lagipula, usianya sudah lebih dari cukup. Tiga puluh
lima tahun, tak baik bagi wanita untuk terus-terusan melajang. Apakah aku
orang yang begitu kolot?, tanyanya dalam hati. Dengan nada redup ia
melanjutkan pembicaraan.
“Kurang apa sih
Devan? Dia lelaki mapan dan baik akhlaknya.”
“Kenapa kakak
begitu yakin? Suami Anita juga orang yang perfect pada awalnya. Tapi kenapa
mereka bercerai ketika pernikahan baru seumur jagung?”
Kanya
meninggalkan kakaknya terpaku sendiri. Gadis yang liat, keras kepala, batin
Sonya.Apakah lingkungan yang membuatnya begini? Lingkungan yang carut marut
hingga ia trauma, trauma dalam menjalin cinta dengan komitmen. Pengalaman
memang guru yang terbaik tapi tak selamanya pengalaman yang terjadi pada orang
lain juga merupakan fase yang harus kita lalui.
Sonya menuju
dapur untuk menyiapkan makan malam di musim hujan ini. Entah kenapa musim hujan
kali ini ia rasakan cukup lama. Mendung, gelap, basah, dingin membuat beku
suasana.
Tak lama
kemudian, ponsel Sonya berbunyi. Terlihat di layarnya sebuah panggilan, Devan.
Hemmm...saatnya merangkai kata agar tak menyinggung perasaan pria.
“ Hallo, hai
Devan. Maaf aku belum berbicara apapun dengan Kanya.”
“Oh, begitu.
Apakah aku harus menunggu?”
“Sebaiknya kau
mencari yang lain dulu, takut kamu kecewa.”
“Oh...” Ponsel
ditutup dengan buncahan kekecewaan dari keduanya.
Jauh di ujung
jalan, seorang wanita matang sedang menikmati sup jamur di restoran. Sendiri,
hanya derai hujan sebagai kawan. Aroma jahe yang ada di hadapannya membuat
hangat suasana.
Karena setiap
orang memiliki poin kenyamanan yang berbeda-beda, katanya dalam hati.
makasih kunjungannya mbk :)
BalasHapus