Yey,
selamat datang Januari, mari semangatkan hari setelah sekian lama berhibernasi,
olalaa. Sebenarnya apa yang akan saya tulis ini sedikit basi karena
heboh-hebohnya sudah dari kemarin. Tapi berhubung otak masih berkeinginan untuk
menorehkan tulisan, yoweslah ya.
Yup,
Desember kemarin cukup berwarna. Duo serupa tapi tak sama turut meramaikan
jagad netizen. Ya, sama-sama perempuan dan sama-sama berjilbab. Akan tetapi,
mereka berlatar belakang yang sedikit berbeda dan apa yang mereka lontarkan
memunculkan komentar yang berkebalikan.
Yang
pertama adalah cuitan dari Dwi Estiningsih yang berprofesi seorang guru. Yah,
bu guru ini melontarkan (kurang lebih), bahwa sebagian orang kafir adalah
pengkhianat sedangkan pahlawan didominasi oleh kaum muslim. What’s up mom?
beragam tudingan miring mengarah kepadanya dan berujung dengan laporan
kepolisian. Ya iyalah, republik ini memang sedang sensi-sensinya. Apa
dipikirnya Adisucipto, Yos Sudarso, Sam Ratulangi dan jenderal-jenderal korban
PKI itu pengkhianat bangsa? Apalagi tulisan itu muncul dari seorang pendidik.
Walah, bu guru, besok-besok kalau mau mencuit mbok hati-hati. Medsos bisa
dibaca sejagad raya dan tak semua berpikiran seperti anda lho. Update status
memang adalah hak segala bangsa tapi apa yang kita tulis, apa yang kita share
menunjukkan kualitas diri kita. Negeri ini cukup reaktif apabila bersinggungan
dengan SARA meski hanya sebatas cuitan.
Yang
kedua adalah tulisan dari dek Afi Nihaya Faradisa. Tidak seperti Dwi Esti yang
seorang pendididk, Afi muncul dari kalangan penuntut ilmu, masih SMA. Sulit
dipercaya bahwa status yang mendapat ribuan like dan share sana sini tersebut
berasal dari anak SMA yang mana anak remaja sekarang lebih doyan berselfie
alay, emosi labil dan berbagai stigma negatif yang umum melekat pada anak SMA.
However, she is different. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, dek Afi
menyindir penduduk Indonesia Raya. Kita diibaratkan sebuah keluarga besar yang
tak pernah akur. Hidup di atas bumi pertiwi tapi siapapun yang jadi pemimpin
tetap dicaci. Dengan luwesnya Afi berpendapat bahwa dengan hanya berkomentar
miring terhadap negeri, tak lantas negeri ini mendadak menjadi baik. Pun ketika
ia ditanya cita-cita. Sederhana sekali, cita-citanya ingin menjadi bahagia.
Bermacam-macam profesi menurutnya adalah hanya sebuah bungkus untuk mencapai
bahagia. Kebahagian itu relatif.
Saya
sendiri angkat topi buat dek Afi ini. statusnya seakan-akan membuka mata,
menampar orang-orang yang hanya gemar bicara namun sedikit usaha ( ya saya
ini). Semoga sukses selalu ya dek dan tetap rendah hati meski gelombang
kepopuleran kian naik. Sebagai orang dewasa, mungkin tak ada salahnya mencerna
di tiap statusnya yang membangun jiwa. Bukankah kita diajarkan untuk mencerna
kata-kata tanpa melihat dari mulut siapa.
Buat
bu Dwi, semoga kedepannya lagi lebih berhati-hati dalam berekspresi. Semoga apa
yang disangkakan padanya menjadi sebuah pelajaran. Kalau hanya bercuit tapi
malah menimbulkan pertengkaran, perdebatan sampah lebih baik dihindari. Kalau tak
mau belanja dengan uang kertas baru, bisa tukarkan dengan uang keping atau
kartu kredit yang tinggal gesek saja.
Afi itu pikirannya dewasa yah. Terlihat dari tulisan2nya. Aku lagi menghindari post2 negatif nih, Mba. Apalagi di fb, banyak banget. Soalnya jengah baca2 yg kaya gt. Mending BW ajalah. Biasanya lebih dpt info yg manfaat dari temen2 blogger
BalasHapusbetuull mbak, fb cari fun, info ringan malah daptnya hoax, adu domba hahahaa
Hapusaku sukka banget postingan ini mbak..jadi pelajaran buat kita semua ya..untuk berhati2 dalam bermedsos ria
BalasHapusmakasihhhh banget mbak pranaaaa.......
Hapus