Dunia anak-anak adalah dunia
bermain. Usianya pun tak bisa ditentukan secara pasti. Bahkan sejak bocil bisa
melihat, ia sudah mulai senang digoda. Beranjak sedikit usia, dia mencuri
perhatian orang dewasa agar bisa dijadikan teman bermain, yahh....meski ujung-ujungnya
Cuma dianggap anak bawang, kata orang jawa “ timun wungkuk jogo imbuh”.
Pun begitu juga dengan si
bujang kecil di rumah yang sudah dua tahun lebih. Usia tersebut memang sedang
bergairah untuk mengexplore yang ada di sekitarnya termasuk dalam mengenal
teman. Tak jarang si bocil waktu istirahatnya terganggu kalau sudah larut
bermain, halah. Jadi sok sok tua gitu deh, ada teman tepuk tangan, ikut tepuk
tangan, ada yang lari ikutan lari, temannya bersepeda, teriak teriak deh sama
orang rumah suruh ngeluarin sepeda roda tiganya.
Beruntunglah kalau teman
bermainnya itu bisa “ngemong” , bisa ngasuh. Tidak harus dengan benar—benar
orang dewasa sebenarnya. Kadang kita temui anak yang baru TK bisa bersikap
ngemong. Biasanya siy, anak tersebut punya adik kecil di rumah jadi terbiasa
dengan pemakluman dan mengalah (jangan nyanyi lagu D’Massif ah, lain urusan
ini).
Lalu, bagaimana kalau
kebetulan teman sebayanya ini lebih agresif? Lebih lincah daripada si kecil?
Mau dilarang bermain kok ya
kasihan. Bermain dengan teman itu kan melatih kecerdasan sosial-emosionalnya
juga. Ada saat-saat dimana anak bermain dengan temannya. Kalau tiap harinya
hanya melulu dengan orangtuanya, kan repot juga. Apalagi kalau nanti pertama
masuk sekolah, bawaannya nempel terus sama emak, kan berabe hihihihiiii.
Tidak takut dinakali?
Wah....kalau ditabok, didorong itu sebenarnya sudah umum ( pada anak saya lho
ya). Tapi sejauh ini masih aman, tidak kriminal yang menggunakan senjata tajam,
misalnya. Ya yang namanya anak kecil dimana masih labil emosinya ( what???)
penalarannya belum mlethik, ya wajarlah ya. Saling berebut, saling gemes,
gregetan itu biasa. Apalagi kalau memang teman sebayanya itu backgroundnya anak
yang masih satu-satunya. Jadi biasa apa-apa dituruti gitu. Sebagai orangtua,
kalau melihat anak balitanya selisih paham (ceileee), tidak usahlah terlalu
baper kali ya. Yakin deh, anak-anak yang masih polos itu tidak ada yang rasanya
dendam. Pagi kata-kataan, rebutan mainan, entar sorenya sudah kejar-kejaran
ketawa-ketiwi. Justru kalau orangtua terlalu baper, sembuhnya sulit lho. “
Jangan main sama si A ya, nanti kamu bla bla bla...”, hayoo ibu-ibu, pernah
enggak keceplosan begitu? Padahal si anak udah akur. Anak sekecil balita itu
justru hatinya kuat, tidak mudah sakit hati, berkecil hati, mutung dan
sebagainya.
However, kita juga tidak bisa
melepas 100% balita kita bermain bersama temannya kecuali kalau ada orang
dewasa (lha..kita dong). Intinya, pendampingan itu perlu, ya sesekali lah ya
kita tengok si bocil sedang apa. Why? Karena
anak-anak tersebut kan kontrol diri masih acakadut, belum paham bahaya atau
tidak.
So parents, protective itu
perlu tapi tidak over yaa. Kita sebagai pendamping, penonton cukup mengingatkan
kalau ada kekeliruan. Tidak perlu harus baper merembet kemana-mana sampai orang
tua tak tegur sapa. Kalau masih dalam batas kewajaran, tidak sampai
berdarah-darah, terluka luar dalam, maafkanlah.
Mengutip dari pujangga Khalil
Gibran “ anakmu bukan anakmu, mereka adalah anak-anak
kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri Mereka terlahir melalui engkau tapi
bukan darimu ...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar