Senin, 01 Juni 2020

Creepy kripik(4)

1. Seni Merangkai Bunga
Aku sampai di rumah malam hari. Keluarga menyambutku dengan gembira karena lama tak bersua. Program pertukaran pelajar ini membuat jarak sementara,antara Jepang-Indonesia. Kamipun bercengkrama hingga kantuk menjemput.

Di keesokan hari, aku berkunjung ke rumah Simbah yang hanya berjarak beberapa ratus meter.
"Ealah, nduk Sasti, udah pulang to dari Jepang." Ujar simbah penuh sukacita.
"Iya mbah sampai tadi malam. Apa kabar mbah? Sehat to.? "
"Alhamdulillah, Gusti paring sehat. Gimana di Jepang? Enak yo? "
"Ya gitu mbah, bersih dan maju. Aku belajar banyak di sana mbah. Salah satunya Ikebana. "
"Ikena?Ibena? "
"Ikebana nek. Seni merangkai bunga. "
"Oalah Sasti, kalau cuma merangkai bunga, Simbah juga bisa. Tunggu ya. Di kebun ada beberapa tanaman bunga. "
Simbah ke samping rumah. Aku duduk di ruang tamu. Aku percaya saja, toh nggak baik berdebat sama nenek-nenek.
"Nih, lihat Sasti, karya simbahmu merangkai bunga. Bagus kan? "

Aku melongo. Iya sih mbah, merangkai bunga tapi yang dibuat simbah itu rangkaian bunga untuk keranda, batinku.

2. Pusat Hiburan
Setelah bertengkar hebat dengan Nola, aku pergi refreshing sejenak ke pusat hiburan. Bersama kedua teman baikku, kami bersenang-senang menikmati setiap wahana yang ada.

"Don, tumben nggak ajak Nola. " Tanya Bobby.
"Jaah, dia lagi pengen me time katanya. Tar kalo aku ajak dia, kalian jadi obat nyamuk. " Kami pun tertawa bahagia.
Tibalah kami di wahana istana hantu. Di sini biasanya kami saling meledek, siapa yang paling penakut. Segala rupa hantu bermunculan, baik luar negri maupun dalam negeri. Setting dibuat begitu mencekam yang bisa membuat orang jantungan.
"Don, kamu ketakutan ya....? " Ledek Soni.
"Ih, kenapa harus takut, mereka kan bohongan semua. " Jawabku santai.
Baru setelah melewati lorong, jantungku berdegup lebih kencang. Bagaimana tidak, hantu itu penuh luka dengan mata melotot, mirip Nola yang kemarin kubacok dengan parang.

3. Main Ayunan
Aku yakin kali ini mama papa yang keliru. Sudah jelas rumah di depan rumah itu ada penghuninya tapi mereka bilang itu rumah kosong.

"Salma, masuk rumah. Di luar sepi, nanti kamu dicolek penculik. " Teriak ibu dari dalam. Yah, di kompleks ini memang rumah tak berpagar tinggi, jadi siapa saja bisa melihat aktivitas orang-orang di teras. Kadang kulihat gadis kecil itu di balik jendela, kadang cemberut kadang tertawa memakai gaun yang sama. Kasihan sekali, nampaknya dia bosan di dalam rumahnya.
Setelah memastikan ibu lelap di tidur siangnya, aku menyelinap keluar. Kupandangi rumah di seberang jalan itu. Jiwa ingin tahuku meronta. Toh, masih terang ini, mana ada hal yang aneh.
"Masuk sini Salma, kita main bareng, di halaman belakang. " Hmmm.... Pantas saja, masih ada lahan kosong di belakang rumahnya, jadi jarang keluar.
"Baik Vania. " Begitulah nama yang ia perkenalkan tadi.

Gadis kecil itu berlari kecil membiarkanku mengejarnya. Ternyata ada taman di belakang. Kulihat dia tertawa sedang bermain ayunan. Ya, ayunan yang dikaitkan di besi tempat kerekan sumur. Diriku linglung, membayangkan kalau ia kecebur. Ia tertawa, diiringi darah yang keluar di tiap lubang wajahnya.

4. Hitam Elegan
Yang hitam itu elegan. Begitulah kata-kata itu ditanamkan oleh keluarga besarku. Lihatlah betapa dunia membayar mahal Beyonce, Michael Jackson, Whitney Houston dan lain-lain. Keluargaku sendiri juga dikenal memasang standar harga tinggi demi memiliki kami. Biasanya sih, mereka setuju-setuju saja, tanpa banyak berkata-kata.
"Suryo, ini si Ani sudah dewasa, aku kasih mahar lima ratus ribu ya. " Ujar si bangkot Sastro.
"Wah, jangan mbah. Tambahi lah. Dia montok begini. "
"Yaudah. Sejuta cukup ya?"
Tak lama, Mbah Sastro sukses memboyongku dengan kisonya. Beginilah nasib jadi ayam Cemani.

5. Si Penyayang
Aku ingin jadi orang baik. Sebagai makhluk Tuhan, pantang bagiku menganiaya sesama makhluk yang lain entah itu hewan atau tumbuhan.
" Vin, rambutmu bau. Coba kamu keramas pakai sampo lebih sering." Saran Wati, tetanggaku di suatu siang.
"Nih, pakai ini juga. Siapa tahu kamu perlu. Kamu kan suka garuk-garul kepala" Katanya sambil mengulurkan botol kecil. Dengan malas aku mengiyakan.
Wati berlalu dan kutatap botol kecil itu. Kubaca baik-baik botol dengan tulisan PediTox itu. Uuh, segera saja kubuang botol dan masuk kamar. Aku ini kan penyayang binatang. Akupun menikmati tidur siang sambil merasakan sensasi gerayang dan gigitan di kulit kepala.

6. Kursi Goyang
Tinggal di rumah khas Jawa yang luas membuatku bisa tidur bebas. Kadang di kamar yang kami sebut senthong, kadang aku tidur di depan tivi memakai karpet.
Malam ini aku leyeh-leyeh di depan tivi hingga larut. Apalagi kalau bukan karena tayangan sepak bola kesayangan. Kuambil sarung, meringkuk sambil netra memandang kotak bergambar dan bersuara itu.

Rak tivi ada di ruang tamu yang luas. Selain karpet dan sofa, ada kursi goyang di sudut yang redup.
Malam ini terasa lebih dingin. Mungkin karena angin juga yang cukup kencang, kursi goyang yang nampak belakang itu bergoyang.
"Hmm... Le, tolong buatkan kopi mbahmu le. "
"Iya mbah." Tanpa pikir panjang, aku bergegas ke dapur menyiapkan kopi. Aroma kopi yang khas tiba-tiba terganggu dengan kemenyan. Bulu kuduk berdiri dan kaki terasa kaku. Bukankah simbah sudah meninggal seminggu yang lalu, gerutuku.

7. Tali Temali
Tak sia-sia dulu waktu sekolah aktif di Pramuka. Banyak sekali yang bisa kupakai dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari memasak hingga tali temali. Akupun menjadi sosok yang mandiri, persetan dengan sikap suami, tak kupeduli. Meski kabar burung di luar sana, dia suka bermain api
Hari yang cerah. Setelah pagi tadi aku memasak untuk yang tercinta, kini giliranku berkreasi. Kuikat dan kukait mengingat materi tali temali. Sempurna. Kini saatnya menyapa si cinta. Iya, suami tercinta yang sudah menikmati kopi rasa sianida. Jalan yang kupilih daripada aku masuk penjara.

8. Aku Memang Beda
Mereka bilang aku ini pembawa sial. Ya, nggak penting juga sih. Sepanjang mereka tidak menyakiti sampai berdarah-darah, aku bisa tahan kok. Toh, aku sudah terbiasa mandiri. Ibu bilang, pantang merepotkan sebelum berpulang.

" Hush, hush, sono pergi Sih. Suaramu menggangguku yang sedang bernyanyi." Usir kawanku yang memang bersuara merdu.
"Sih, sana jauh-jauh dari sini. Aku takut ada yang mau meninggal karena kamu datang. " Yah.... Sial, disuruh pergi lagi. Tega sekali mereka padahal kita kan sesama makhluk Tuhan.
Aku termenung di pohon rindang sambil menikmati sejuknya alam, tentu saja sendirian.
Tak lama, ada seorang kawanku datang.

"Sudahlah Sih, kau ini sama denganku, dicap pembawa sial, bahkan lebih buruknya, membawa pesan kematian. Yang sabar ya Sih, Kedasih. " Ujar temanku, Gagak Hitam. Kami pun tertawa, diiringi berita lelayu dari toa mushola.

9. Susah sinyal
Liburan di kampung memang menyenangkan. Mataku serasa di-refresh dengan segala pemandangan. Tapi tak begitu ketika malam tiba. Mau nonton tivi? Gambar renyek. Dengerin radio? Yang ada isinya campursari atau wayangan. Paling aku mainan hp dengan sedikit misuh karena sinyal yang hilang muncul. Mbahku sendiri biasanya sudah di kamar selepas Isya.
Seperti biasa, malam ini aku berselancar dengan ponselku di teras berharap sinyal bisa lebih ceria.

"Lagi apa to mas? " Tanya seorang cewek mengagetkanku.
"Anu, lagi nyari sinyal mbake. "
" Oh, sinyal to? Ke rumahku saja, sinyalnya mentereng."
"Masa si mbak? "
"Iya, kan dekat tower. Masih sore ini, belum tengah malam. "

Entah kenapa, aku pun mengiyakan. Rumahnya asri dan indah. Perasaan aku belum pernah lihat rumah ini kalau pas jalan di siang hari. Mbaknya menyuruhku di teras sementara ia mau bikin teh katanya. Memang betul, sinyal renyah sekali di sini.
Akupun asyik bermain ponsel. Tak lama, dari kejauhan terdengar suara tetabuhan. Apa ini? Masa iya pawai malam hari.

"Bayu, Bayu. " Sayup-sayup kudengar namaku dipanggil.
"Ealah, ngapain Bayu kamu di situ le." Kutengok kanan kiri, tak ada siapapun.
"Bayu, ini simbah Le, coba kamu nunduk. "
Astaga! Di mana ini?
"Turun Le, kami sudah tiga jam mencarimu. "
Aku kaget menyatu dengan ketakutan. Ternyata aku duduk di dahan pohon Randu samping kuburan.

10. Cetak Foto
Penat tapi menyenangkan. Itulah yang kurasakan setelah memanfaatkan long weekend dengan mendaki gunung yang tak jauh dari tempat kami tinggal. Tak lupa kami berfoto-foto demi mengabadikan momen indah itu.
"Shinta, nanti malam foto kita cetak ya. Jadiin buku foto gitu. " Ujar Rani dari balik telepon.
"Oke Ran. Aku cek dulu ya, pilih-pilih mana yang pantas untuk dicetak. " Jawabku sambil bermalas-malasan.
Akupun mengambil laptop dan kamera yang semalam ku-charge. Kunyalakan semua perangkat, klik dan zoom.
Tak seindah yang kubayangkan. Jantung ini berdegup kencang, ingin rasanya laptop ini kubuang. Bagaimana tidak, di setiap foto ada wanita asing berambut panjang nebeng di belakang.


11. Balada Air Rebusan
Meski rumahku kotor, tak sepantasnya keluarga pak Marno itu buang sampah sembarangan, apalagi yang berbahaya.
Baru-baru ini mereka suka membuang rebusan mie instan di tempat kami tanpa permisi. Alhasil anak-anakku kecipratan.
Setelah mendengar keluhan dari anak-anak, aku putuskan untuk membuat perhitungan. Hmmm.... Belum tau aja mereka. Akan kuselesaikan dengan cara yang tak biasa.
Magrib tiba, keluarga pak Marno sedang sholat kecuali si kecil Andi. Kulihat dia asyik bermain dan sesekali ke kamar kecil.

"Ehmmm..... Andi.... " Panggilku lirih.
Tak disangka anak kecil itu berlari sambil menjerit.
"Ayah..... ada makhluk hitam bertanduk di dapur. Wajahnya melepuh. Huhuaaaaaa..... " Anak itu menangis mendekati sang ayah yang baru saja salam.
Dasar manusia, baru kupanggil sudah kabur. Padahal cuma mau bilang, kalau buang air rebusan jangan di kamar mandi, kami kepanasan.


12. Toilet
Malam ini, aku bersama Lola, temanku pergi ke bioskop.Ya, kami memang penikmat film. Kami kebagian show sesi terakhir. Ya nggak begitu masalah si, justru kami lebih nyantai dari tempat kerja.
Puas, begitulah pendapat kami terhadap film tersebut. Tak begitu ramai karena memang malam makin merangkak. Orang jarang nonton di sesi terakhir.
Begitu keluar studio, kami memilih ke toilet dulu.
" La, tungguin ya. Nggak lama kok. " Pintaku.
" Iyak. "
Toilet sunyi. Aku pun asyik di bilik termenung. Kudengar suara toilet sebelah terbuka.
" Lola, kamu kebelet juga ya. " Ledekku.
Tak menjawab cuma ada deheman. Ah jaim sekali, pikirku. Kuketuk partisi toilet dan lagi-lagi hanya dehem. Tiba-tiba, netraku menangkap sesuatu dari lantai sebelah. Ada tetesan darah. Hmmm.... Lola mungkin lagi banyak-banyaknya.
Setelah menunaikan hajat, aku pun keluar. Kulihat Lola sedang asyik berselfi.
" La, kamu tadi kayak orang keguguran. Banyak banget tembusnya."
"Ih, apaan si Del, orang nggak ada juga yang masuk bilik sampingmu. Ada juga OB noh, di toilet ujung. "
Tanpa ba-bi-bu kami pun mengambil langkah seribu.

13. Bertamu
Akhir bulan Oktober adalah saatnya aku bebas berkeliaran. Pemandangan kota setiap saat bisa berubah. Kadang kulihat lampu di dalam labu lalu berganti dengan lampu bergantung di tanaman pinus.
Kutengok kanan kiri, mencari rumah yang pantas untukku bertamu. Bukankah wujud rumah adalah bukti kemakmuran penghuninya? Ah, akhirnya, rumah bergaya Mediterania itu yang kupilih. Semoga mereka menyambutku dengan baik.
"Selamat datang." Sapa tuan rumah yang membuka pintu, tak lama setelah bel kupencet.
" Wow, luar biasa. " Puji anak kecil di belakangnya.
" Oh, ini kami ada sekantong coklat dan permen. Terimalah. " Kata Tuan rumah sambil menyerahkan kantong padaku.
" Tuan, aku tak suka permen dan coklat. " Kataku dengan memasang wajah sangar
"Lantas kau mau apa? "
"Aku mau minum. Tapi minum darah."
Mendadak lantai ruang tamu berubah warna jadi kemerah-merahan diiringi jerit dan tangisan.

14. Mandi di Sungai
Nenek mana yang tak senang dengan kedatangan cucunya. Seperti biasa, Fido yang dari Jakarta, pasti menghabiskan liburannya di sini. Namanya juga anak kota, suka terpesona dengan alam desa. Contohnya saja sungai. Katanya di kota sungainya berbau, kotor, banyak sampah, tak seperti di desa. Di sini, dia bisa seharian di sungai sampai kulitnya keriput.
" Kamu dari mana saja le. Sudah lewat dzuhur baru pulang. " Tanyaku menyelidik.
" Anu mbah, dari sungai lah. "
"Ngapain siang-siang ke sungai? Kalau tenggelam nggak ada yang bisa dimintai tolong, wong sepi, orang-orang di rumah." Jawabku sambil mengiris buah.
"Tadi aku ada teman kok mbah. Roni namanya. Besok aku mau main ke rumahnya. Katanya dekat sungai. "
" Sudah, sudah. Besok-besok kalau ke sungai sama pamanmu saja. "
" Emang kenapa nek? Fido bisa sendiri ke sungai. "
Emang dasar ngeyel. Makan sana. Nanti kubilang pamanmu. "
Dasar anak keras kepala. Kalau kubilang Roni itu tenggelam minggu lalu di sungai, nanti malah kamu takut, nggak ke kampung lagi, batinku.


15. Kerokan
Setelah bekerja selama lebih dari dua bulan, aku putuskan untuk mudik sejenak. Kebetulan ada long weekend, jadi kusempatkan waktu untuk melepas rindu pada ayah dan ibu.
Lepas magrib kedua orang tuaku pergi pamit kondangan ke kampung sebelah. Aku sendiri asyik dengan gadget dan kripik singkong.
"Neng Citra.... " Kudengar ada suara memanggil. Kubuka pintu dan kulihat nenek Siti datang sambil membawa amunisi kerokan. Beliau seorang nenek janda yang tinggal jauh dari anak cucunya.
" Neng, bisa tolong kerokin sebentar? Sepertinya nenek masuk angin. "
" Baik Nek. "
Kuletakkan gadget dan mencari posisi nyaman.
Ritual kerokan dimulai dengan mengoles minyak lalu mengayunkan koin. Begitu koin beradu kulit, ada yang tak biasa. Ya, kulitnya terkelupas tipis, dan berbau amis.
" Ada apa Neng Citra?" Tanya nenek Siti lirih.
"Aanu.... " Keringat mengalir deras, meratapi diriku yang pelupa. Bukankah Nek Siti meninggal seminggu yang lalu ketika aku masih kota tetangga?

16. Pudar
Tetangga sebelah mengadakan hajatan besar. Biasanya sih, kampung di sini hajatan sampai malam hari. Sebagai tetangga yang baik, tentulah aku kondangan.
Aku memilih kondangan malam hari. Biasanya hiburan makin oke kala matahari kian tenggelam. Dengan riasan secukupnya, aku melenggang. Harapan kecilku sih, ada pemuda yang tertawan.
Terdengar irama yang membuat orang-orang bergoyang-goyang. Aku mempercepat langkahku karena langit nampak mendung. Kenapa nggak pakai pawang sih, gerutuku.
Sial, rintik hujan mulai menyerang. Duuh, bagaimana kalau riasanku pudar. Begitu tiba, aku pun pengisi buku tamu. Mereka pun kabur tunggang langgang setelah melihat mukaku tanpa hidung, bibir dan mata. Dasar hujan brengsek, umpatku.

17. Cermin
Sebagai remaja kelas satu SMP, aku mulai tertarik dengan yang namanya bersolek. Biasanya aku sedikit colek-colek punya ibu untuk sekedar eksperimen, praktik merias diri.
Seperti malam ini. Bapak dan ibu pergi yasinan di mushola tiap malam jumat. Biasanya mereka pulang selepas Isya. Aku pun mulai berkreasi di depan meja rias ibu. Hufttt, pantas saja ibu selalu cantik, beauty kit-nya lengkap. Kucoba satu-satu seperti video tutorial.
Aku berlenggak-lenggok di depan cermin bak peragawati.
"Hai cermin, siapa yang tercantik di dunia ini? " Tanyaku layaknya di film-film kartun.
"Ya jelas Sulasmi yang paling cantik. " Aku terkejut. Kudengar jawaban lirih dari belakang bersamaan dengan sekelebat perempuan berbaju putih berambut panjang.

18. Klinik Bidan
Sore itu, sepasang suami istri sedang bersantai di rumah. Nampaknya mereka adalah pasangan yang harmonis.
"Selvi, mau buka klinik di mana lagi kita? " Tanya suaminya
" Bagaimana kalau ke Balikpapan? Bukannya saudaramu di sana.? "
"Hmm.... Bener juga. Nanti aku tanyakan. Pasti kamu banyak pelanggannya, karena kamu pasang harga murah. "
"Ya iya dong suamiku sayang. Klinik kan cuma penunjang. Kan ada pos usaha yang lain. " Ujarnya sambil menata syal di leher yang mulus.
Laki-laki itu lantas mengambil ponselnya setelah asyik membaca koran. Di halaman kedua disitu tertulis berita. "Klinik bidan cantik itu ditutup juga setelah masyarakat mengeluhkan bahwa janin dari pasien jarang yang selamat".
Diletakkannya koran di meja lalu wanita itu makan lahap berlauk ayam yang belum matang.

19. Penyiar Radio
Dengan suara yang renyah dan pribadi yang ceria, sudah pasti aku punya fans yang fanatik. Bahkan, saat program siaranku pada malam hari, masih banyak pendengar yang berinteraksi, entah minta lagu, curhat, ataupun sekedar kirim salam.
Belakangan ini memang ada penggemar yang sering menelpon. Sebut saja Lila. Kadang curhat, kadang kirim salam. Dan permintaan lagunya itu selalu sama, Pupus dari Dewa.
Sore ini, sebelum aku siaran, Lila memintaku untuk datang ke acara ulang tahunnya. Aku sih tidak keberatan, karena sedang free.
Setelah mengantongi alamatnya, aku bergegas.
"Maaf Pak, mau tanya, rumah Lila di sebelah mana ya? " Tanyaku ke salah satu orang di depan gang.
"Oh, itu lurus saja. Banyak orang di sana. Ngomong-ngomong, masnya siapa ya, nggak pernah lihat? "
"Oh, saya Hendy pak. Lila mengundang saya di ulang tahunnya nanti lepas Maghrib. "
"Mas Hendy belum tahu ya? Malam ini kan malam tujuh hari neng Lila yang memang bertepatan dengan ulang tahunnya. Neng Lila gantung diri karena ditinggal pacar setelah dihamili. "
Aku kaget bukan kepalang. Sepertinya aku mau ambil jam siar pagi hari saja.

Creepy kripik (3)

1. Gadis Tiara Kantil
Dewi membaca selebaran tentang adanya pemilihan bintang untuk pelanggan setia shampo Kantil. Dengan modal rambut yang aduhai dan bakat terpendam, perempuan itu memutuskan untuk ikut ajang ini.

Dengan sedikit malu dan tegang, Dewi memberanikan diri naik ke panggung uji bakat. Terdapat beberapa juri di bagian depan dan sejumlah penonton.
"Cantik sekali kontestan ini. Siapa namamu? " Apa yang kamu tekuni?" Tanya salah satu juri.
"Saya Dewi om. Mm.... Saya bisa akting om. "
"Oh, ya silahkan. Mau akting apa? "
"Akting seperti Suzanna. "

Dewi pun tertawa dan mengangkat badannya, mendadak riasannya berbeda. Para juri dan penonton bubar tak beraturan. Mereka yakin bahwa itu bukan hanya akting tapi hantu betulan. Acara pemilihan gadis shampo pun berakhir, berhenti sampai batas yang tidak ditentukan.

2. Tugas Bahasa Inggris
Tugas dari guru bahasa Inggris cukup mudah. Beliau menugaskan kami untuk merekam suara ketika membaca sebuah teks. Cukup berbekal kamus untuk mengecek pengucapannya dan suasana yang sunyi agar hasilnya oke. Yah, namanya juga learning from home, nggak mungkin guruku menelpon murid satu demi satu untuk mengambil nilai pronunciation.

Ketika semua tengah tertidur, aku meraih ponsel dan memulai merekam. Prosesnya memang butuh kesabaran karena tak bisa dalam satu kali rekam. Ada saja yang membuat lidahku kepleset dalam mengucapkan kata.

"Aku kira ini cukup baik" Batinku. Kucoba untuk memutar ulang, memastikan bahwa rekamanku tak memalukan.
Sedetik, dua detik terlewatkan. Hingga di pertengahan, kudengar ada backsound pada rekaman. Iya, kudengar ada perempuan meratap sementara semua orang masih terlelap.


3. Mobil Bekas
"Syukurlah ya Pak. Kita nggak perlu lagi balapan tiket buat pulang kampung. Kan ada mobil sekarang." Kataku pada suami.
"Iya bu. Kita beruntung sekali, dapat mobil yang ramah di kantong. Jauh di bawah budget kita. "
Kamipun saling tersenyum dan menjajal mobil baru kami. Mobil bekas rasa baru, tepatnya.
" Pak, ini mobil sudah dicuci kan?"
"Iyalah Bu. Pokoknya dah oke semua. "

Mobil melaju perlahan keluar gerbang perumahan. Tak kuhiraukan aroma yang kadang muncul kadang hilang.
Kami begitu menikmati dengan bernyanyi bersama, meski tatapan suami selalu ke depan. Namun, mataku yang jelalatan menangkap sesuatu yang aneh di pandangan. Kulihat dari cermin depan ada penumpang asing berambut panjang duduk di belakang. Mobil pun mogok di pinggir jembatan.
"Pak, kita jual lagi saja mobil bekas ini, " Ujarku sambil menangis ketakutan.


4.  Sesuatu yang Hilang
Seperti biasa, angkot yang kutumpangi hanya sampai gapura. Selebihnya, aku cukup berjalan kaki. Meski lokasi kerja harus ditempuh dengan kemacetan, aku tak boleh mengeluh. Sudah bersyukur aku tidak menganggur. Banyak orang yang lebih susah, seperti perempuan yang belakangan ini selalu kulihat mengais selokan pinggir gapura.

Entah malam keberapa, perempuan itu selalu di tempat yang sama. Kucoba kusapa dan bertanya.
"Mbak, mbak, sedang apa ya di sini? Sudah malam masih di sini saja. " Tanyaku dari belakang.
" Saya mencari sesuatu. " Jawabnya pelan.
" Nyari apa mbak, dari kemarin-kemarin di sini terus. Ada yang bisa saya bantu?"
Perempuan itu lantas membalikkan badannya.
"Saya mencari mata sebelah kiri saya mas, sepertinya terlempar ke sini saat kecelakaan minggu lalu. "

Tanpa kubalas, kusudahi percakapan dengan lari tunggang langgang sambil mengutuk tindakanku yang lancang.

5. Ojek Pangkalan
Beginilah nasib jadi opang, ojek pangkalan. Cuma bisa mangkal, mendapatkan penumpang yang kebetulan lewat saja. Seringkali aku nongkrong sampai larut, bahkan sendirian karena opang yang lain mungkin sudah tak tahan dinginnya malam.

" Mang Budi, bisa tolong antarkan aku pulang Mang. " Terdengar suara perempuan memecah keheningan malam.
"Eh, Ceu Titin. Ayok. Sekalian aku pulang." Ya, dia memang satu kampung, jadi sedikit paham.
"Ceu, habis dari mana? Belakangan nggak kelihatan? "
" Uhuk, ini mang, beberapa hari ini agak kurang sehat. Ini baru dari dokter. "Jawab dia dengan halus.
" Malam-malam begini? "
" Ah, nggak terlalu malam mang, ini masih jam sepuluh. Tadi memang dokternya antri, praktek malam. Nunggu angkot juga lama. "
" Oh, gitu."

Setiba di rumahnya, aku segera tancap gas. Sengaja kutolak pembayaran karena tak ingin menyusahkan orang sakit. Wajahnya mengisyaratkan begitu.
Sesampainya di rumah, aku mandi dan pergi ke alam mimpi hingga pagi.
"Pak, Bapak, bangun."
"Hemm....ada apa bu. "
"Aku mau layat ke ceu Titin, meninggal semalam di rumah sakit. Sekarang jenazah sudah di rumah."
Aku meloncat, mengusap mataku. Jadi yang semalam kubonceng siapa???


6. Cinta Mbak Wiwi
Belakangan ini hubungan Wiwi dan pacarnya kurang begitu baik. Slamet terlihat pasif dan lebih sering menatap gadgetnya. Wiwi curi-curi pandang, mencari tahu apa yang sedang asyik dilakukan oleh pacarnya itu. Wiwi sudah kesal sampai ubun-ubun karena dicueki.

" Ya Tuhan, apa-apaan kamu mas? Diajak ngomong malah liatin hape, gambar apa ini, Nicki Minaj, Dolly Parton, Pamela Anderson, oalah, kurang opo aku iki? " Teriak Wiwi.
" Ma-maaf Wi. Aku cuma lihat-lihat." Jawab Slamet dengan terbata-bata.
" Maaf, maaf!. Oh, kamu pengen cewek seperti itu? Aku juga bisa, tanpa operasi malah. " Teriak Wiwi dengan mata menyala. Seketika itu, Wiwi bak slogan Ksatria Baja Hitam, "berubah".
" Jadi kamu mau aku seperti ini, hah? " Bentak Wiwi.
"K-Kamuu..... Beb... Bukan Wiwi.? "
"Aku Wiwi, nama lengkapku Wiwi Gombel. " Dunia Slamet pun gelap seketika.


7. Krupuk Kulit
Meski hanya pembuat krupuk kulit, aku sangat memperhatikan anak semata wayangku, Ranti. Kini Ranti sudah dewasa, akupun harus ekstra hati-hati, jangan sampai salah jalan.

"Ranti, kamu yakin sama si Sarmo itu? "
"Emang kenapa si Pak? Dia kan baik. "
"Emang nggak ada yang lain Ran? Udah penampilannya udik, panuan lagi. Kamu nggak cocok sama dia. " Ranti melengos ke kamar. Aku harus sabar, pelan-pelan kasih tahu dia. Aku nggak ingin Ranti bertengkar melulu denganku.

Di malam selanjutnya, aku merayu Ranti agar dia paham. Tentu saja, seperti para pejabat, diplomasi meja makan.
"Ayo makan Ranti, Bapak masakkan spesial buat kamu. Jangan lupa krupuk kulitnya. "
Ranti terlihat biasa saja ketika menikmati hidangan.
"Lho Pak, krupuk kulitnya kok beda, tebel begini? Mana ada totol-totol putihnya. "
" Masa? Mungkin ketempelan sagu pas goreng tadi. " Jawabku datar.
Kini aku senang. Ranti sudah tak berpacaran dengan Sarmo lagi. Katanya dia menghilang tanpa pesan.


English_6thGrade_#4

  Cross a,b,c or d of the right answer! 1.       Kim :................? Ran: I am twelve a.        How are you                        ...