Selasa, 31 Januari 2017

Madilog



Tulisan di awal bulan. Hahaha...kok kedengerannya agak kekirian gitu ya. Tenang-tenang, saya netral kok, nonBlok, cari aman ( jiahhh).

Jadi makna Madilog ini adalah akal-akalan saya terutama bagi yang belum berkomitmen entah itu dalam pekerjaan ataupun pernikahan , ea eaaaa. Istilahnya masih free style, mau ngapain kek, nobody protest kalau kitanya yang nggak kebangetan setan kelakuannya. Madilog ini bagi saya adalah suatu kegiatan utama yang mungkin bisa menopang kegiatan lain yang bisa jadi mempunyai arti yang lebih. Yoshhh....for me, Madilog ituuuu adalaahhh....Makan manDI dan ngeBLOG, hahahaa.....anda tercengang? terima kasih kawan.

Makan, ya makan itu penting karena itu sebagai sumber tenaga. Itu juga bisa sebagai sumber pahala lho asal makan itu diniatkan agar mempunyai tenaga untuk beribadah. Bagi apa-apa yang masih ditanggung orang tua, cukup ngertiin saja, yang penting halal dan bergizi tentunya. Eit, gizi nggak perlu mahal lho dan tidak semua yang mahal itu baik buat tubuh kita. Telur sekilo sepuluh ribu bisa jadi lebih bergizi daripada junkfood seharga 20ribu di fastfood yang impor itu. Yang penting bersyukur, Insya Allah nikmatnya akan bertambah.

Mandi??? Tolong jangan ada yang ber-alibi mandi buat siapaaa. Mandi berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan kita. Dengan mandi badan kita bersih, jauh dari penyakit dan tentunya lebih afdhal dalam beribadah daripada yang mandi sekali dalam dua hari, alamakkkk. Kalau toh dingin, kan bisa masak air panas ( kecuali kalau badan lagi sakit, cukup di lap aja kali yaa). Jangan lupa pakai sabun biar wangi jadi orang lebih nyaman berada di sekitar kita, siapa tahu dapat gebetan (uhukkk). Mandi biar bersih rapi, buatlah kesan pertama yang menggoda, halah. Bagaimana mau menilai hati sedangkan untuk mendekati saja tak punya nyali karena jarang mandi hahhaaaa....

Ngeblog? Saya sederhanakan lagi ya, nulis. Ya menulis bisa meluapkan emosi jiwa, menuangkan ide-ide yang ada dan mengingat kejadian istimewa. Seorang ulama mengatakan yang pada intinya “ Kalau bukan siapa-siapa, maka menulislah.” Terlebih kalau yang ditulis itu informatif, bermanfaat bagi orang lain yang membaca, kan berpahala juga, ea eaaa. Menulislah yang memang menjadi passion, seperti tentang travelling, parenting atau bahkan curcol humor yang bisa menghibur hati para pembaca. Ingat, Raditya Dika juga terkenal dari cerita konyolnya di blog.

Buat yang mentahbiskan MaDiLog sebagai kegiatan utama sehari-hari, jangan berputus asa karena Sang Pencipta adalah maha Pemurah. Saya pernah mengalami keadaan di mana jobless, ya saya isi dengan kegiatan yang berguna saja, bukan Cuma makan tidur. Niatkan semua kegiatan baik sebagai ibadah, semoga doa kita diijabah.









Senin, 30 Januari 2017

Seandainya Ibu Malin Kundang Menyumpahi dengan Hal Baik




Adalah suatu hal yang lumrah kalau dulu sewaktu kecil kita didongengi. Entah itu dengan tujuan agar cepat tidur, menasehati atau sekadar hiburan karena tidak ada tivi dan buku dongeng pun masih langka.
Sebagai orang yang pernah kecil, pernah mengenyam bangku sekolah, pasti sudah tidak asing dengan dongeng Malin Kundang. Kisah anak durhaka yang tidak mengakui perempuan renta sebagai ibunya. Dan sebagai balasannya, ia menjadi batu, kapal dagangnya karam, nggak usah ditanya pegawainya. Nggak diceritain apakah mereka menyelamatkan diri dengan sekoci atau turut serta tewas bersama majikannya. Ya, sudah sangat akrab sekali di telinga kita bahwa ucapan seorang ibu adalah doa. Seperti perpanjangan tangan Tuhan, jadilah maka terjadilah, meski pun itu buruk.
Menurut saya sendiri, dongeng itu sudah nggak kekinian mengingat dakwah agama sudah merajalela. Seburuk-buruknya anak, tetap saja tidak bisa memutuskan hubungan darah daging. Selain itu, tidak semua orang akan selamanya berkubang dalam keburukan. Alih-alih mengutuk hal yang buruk, mending kutukannya diubah “Semoga kelak jadi ahli agama, semoga menjadi pemimpin yang adil” dsb. Nah, siapa tahu ia kelak menjadi pak ustadz yang di kemudian hari justru mencari-cari sang ibu. Konon Imam Masjidil Haram, Syaikh Sudais menjadi imam lantaran ucapan sang ibu ketika beliau marah, “pergi sana, biar jadi Imam Masjidil Haram”. Subhanallah, bahkan dalam keadaan marah pun seorang ibu masih menjaga lisannya. Marah, mengutuk tapi dengan” kutukan yang baik”.
Sekarang bukan waktunya kutuk mengutuk. Sebagai seorang ibu, ada baiknya untuk lebih bisa bersabar. Kalaupun melontarkan kata-kata, hendaklah yang baik-baik, siapa tahu menjadi kenyataan. Anak yang tadinya bengal berubah menjadi baik. Bukankah Allah pemilik hati semua makhluk. Doakan saja semoga dibukakan hatinya agar lebih lembut. Let Him works mysteriously. Mengingat anak adalah investasi masa depan bahkan sampai orang tua meninggal pun, doa dari anak yang shalih bisa menerangi kubur.
Seandainya ibu Malin menyumpahi anaknya menjadi seorang ustadz, mungkin jalan ceritanya akan lain ya. Bisa jadi ia menjadi ustadz yang menyebarkan agama dan mencari ibunda, wow wow so sweet. Lha lha ngelantur nih. Anyway, ini Cuma sekadar tulisan akhir bulan. Mohon koreksinya kalau kurang. Feel free to comment.
Bukankah kasih ibu sepanjang jalan sedangkan kasih anak hanya sepanjang galah???

Selasa, 24 Januari 2017

Mencintai Hujan



“Alasan apalagi yang akan kau lontarkan untuk menolak lelaki itu Kanya?”
Wanita muda itu terdiam mendengar celoteh kakaknya. Sesekali ia mengotak-atik ponselnya yang mengisyaratkan kejenuhan.
“Kak, aku masih ingin fo..”
“Ingin fokus ke karier maksudmu? Kan bisa sambil jalan. Toh kamu adalah wanita yang tidak ditakdirkan menjadi tulang punggung”, ujar kakaknya sambil mengelola emosi.
“Kalau semua wanita adalah tulang rusuk, lalu kenapa ibu selalu lebih sibuk dibanding ayah? Kenapa ibu yang membayar kebutuhan kita?”
“Kamu nggak tau apa-apa Kanya.”
“Aku punya mata dan telinga kak” bantahnya.
“Apa kau tidak mau seperti teman-temanmu yang memamerkan gaya lucu anak-anak mereka. Kamu sudah lebih pantas untuk hal itu.”
“Kakak baru punya anak setelah 10 tahun menikah. Dan dalam rentang waktu itu pula kakak jatuh bangun mempertahankan rumah tangga.”
Gadis itu mulai menaikkan tensi sementara sang kakak berharap tidak terjadi letupan yang berarti. Apa yang dikatakan adiknya memang ada benarnya. Tapi ia sangat ingin ada seorang pendamping yang bertanggungjawab atas adiknya setelah kematian ibunda dua tahun lalu. Lagipula, usianya sudah lebih dari cukup. Tiga puluh lima tahun, tak baik bagi wanita untuk terus-terusan melajang. Apakah aku orang yang begitu kolot?, tanyanya dalam hati. Dengan nada redup ia melanjutkan pembicaraan.
“Kurang apa sih Devan? Dia lelaki mapan dan baik akhlaknya.”
“Kenapa kakak begitu yakin? Suami Anita juga orang yang perfect pada awalnya. Tapi kenapa mereka bercerai ketika pernikahan baru seumur jagung?”
Kanya meninggalkan kakaknya terpaku sendiri. Gadis yang liat, keras kepala, batin Sonya.Apakah lingkungan yang membuatnya begini? Lingkungan yang carut marut hingga ia trauma, trauma dalam menjalin cinta dengan komitmen. Pengalaman memang guru yang terbaik tapi tak selamanya pengalaman yang terjadi pada orang lain juga merupakan fase yang harus kita lalui.
Sonya menuju dapur untuk menyiapkan makan malam di musim hujan ini. Entah kenapa musim hujan kali ini ia rasakan cukup lama. Mendung, gelap, basah, dingin membuat beku suasana.
Tak lama kemudian, ponsel Sonya berbunyi. Terlihat di layarnya sebuah panggilan, Devan. Hemmm...saatnya merangkai kata agar tak menyinggung perasaan pria.
“ Hallo, hai Devan. Maaf aku belum berbicara apapun dengan Kanya.”
“Oh, begitu. Apakah aku harus menunggu?”
“Sebaiknya kau mencari yang lain dulu, takut kamu kecewa.”
“Oh...” Ponsel ditutup dengan buncahan kekecewaan dari keduanya.
Jauh di ujung jalan, seorang wanita matang sedang menikmati sup jamur di restoran. Sendiri, hanya derai hujan sebagai kawan. Aroma jahe yang ada di hadapannya membuat hangat suasana.
Karena setiap orang memiliki poin kenyamanan yang berbeda-beda, katanya dalam hati.

Minggu, 22 Januari 2017

Menyibak mendung



Perempuan itu memandang laptopnya sambil sedikit menebar senyum sendiri, kadang sesekali menengok ke layar hapenya, entahlah, sepertinya aura kebahagiaan sedang menaungi dirinya.
Sebagai seorang perempuan yang konon suka bercerita, Saqeena justru kebalikannya. Dia lebih banyak diam dan menyibukkan diri. Berbicara seperlunya, begitu kata teman-teman yang ada di sekitarnya. Kadang ia melucu atau diskusi ringan, tapi tidak tentang pribadinya. Meski begitu, ia tipe yang enak dijadikan teman, terutama pendengar, ya...pendengar yang baik.
“ Saqeena, heppy banget nampaknya,”sapaku.
“ Iya nih.”
“Boleh tahu nggak nih? Cerita dong, suntuk nih. Laporan sudah selesai, mantengin laptop terus cape,” rayuku.
“Hemmm...kasih tahu nggak yaaa...”, ujarnya.
“ Yeeee....Saqeena, boleh dong ngepoin kamu sesekali.”
“ Aah, jadi gini, adik iparku dan suamiku kini sudah mulai rajin sholatnya.”
“Waah, selamat ya...” Uhmmm.....bingung mau berkomentar apa, sampai si gadis disampingku ikut nimbrung, mungkin mendengar karena suasana yang sunyi.
“Yee Saqeena, emang seharusnya begitu kan? Mereka kan sudah baligh, kalau sama bapakku mah, udah di sabet pakai sapu lidi,” cerocos Laila.
“Apalagi kalau shubuh lewat, bisa diguyur tuh. Sekarang si  abang sama adik-adik rajin sholatnya, termasuk yang sunnah juga lho. Beruntung deh yang dapat mereka, sholeh, pintar pula” tambahnya.
“Eh, begitu ya...” Saqeena tersenyum., agak kecut sih seperti menyembunyikan suatu kekecewaan. Kami kembali menatap laptop masing-masing. Iseng-iseng, setelah beberapa saat, aku cek facebook dan kutemukan status yang panjang kali lebar dan jelas sekali itu akun siapa.
"Setiap orang berkewajiban menjadi lebih baik, lebih baik dari sebelumnya, bukan lebih baik dari orang lain. Kalian tumbuh di lingkungan Islami, begitu juga dari pendidikan dasar sampai kuliah pun masih bernaung di pendidikan Islam. Kalian tak pernah merasakan bagaimana beratnya mengubah orang dengan karakter yang sudah terbentuk. Mungkin bagi kalian ini biasa, tapi bagiku ini adalah hal yang luar biasa. Masih banyak PR yang harus kuselesaikan, semoga menjadi tabungan akherat yang berarti."
Aaah, benar sister, aku tahu untuk siapa status yang baru saja kau tulis, bolehlah aku komentar ya cantik...
“ Tetaplah berbuat baik karena kita tidak tahu amalan mana yang membawa kita ke surga. Bahkan sebesar dzarrah pun diperhitungkan olehNya. Tetap Semangat, gapailah cintaNya meski dengan merangkak.”
Ia hanya membalas dengan icon senyuman,.
Langit Bekasi mulai cerah. Gelapnya mendung kini pudar, benarlah bahwa mendung tak berarti hujan. Ternyata masih banyak misteri yang belum kupahami. Ya Allah, jadikan diriku orang yang baik tanpa merendahkan orang lain.

Acara yang Seharusnya Nggak Ada di 2017



Gairah menulis pekan-pekan terakhir kok ya sehati dengan isi dompet to ya hahahaa....Di sini nggak ngobrolin yang serius-serius banget sih ya ( ngobrol? ngomong sendiri kaliiii).

Lanjoot mak, saya  disini mau chit-chat tentang acara di tivi. Memang sih, saya sebenarnya bukan penikmat tivi yang baik.Kalau ada kesempatan ya nonton, nggak yaudah. Itu juga pasrah karena keputusan menonton apa bukan di tangan sayahhh. Ya kalau beberapa acara mulai dari yang alay, nangis darah atau tertawa-tawa sedikit tahu lah ya meski Cuma sebatas kulit ( halah).

Ngomongin program tivi, sudah bukan rahasia umum lagi lah ya kalau dunia pertivian Indonesia itu cukup banyak mendatangkan pro kontra meski penontonnya ya selalu ada (pasang parabola butuh biaya nyonyaaa).

However, akan tetapi, ada beberapa acara yang menurut pribadi saya, pribadi nih ya, perlu dikaji ulang atau stop sajalah disebabkan beberapa alasan. Beberapa acara yang menurutku nggak perlu tayang di 2017 ini adalah...taraaa:

1. DAHSYAT. Saya nggak tahu, kenapa masih banyak yang setia dengan acara ini, mana pagi-pagi pulak. Sering bertanya-tanya, mereka ini nggak sekolah? nggak kuliah? nggak kerja? kalau nggak ketiga-tiganya ya syukurlah. Acara musik yang lebih menonjolkan ke-alay-annya. Menyajikan acara yang absurd, musik enggak, gosip enggak, atau lebih condong acara keluarga. Kenapa nggak bahas genre-genre musik, prestasi musisi, composer atau belajar musik bareng gitu. Daripada menyajikan acara yang saling mencela sesama host atau ejekan host dengan penontonnya.

2. Tukang Bubur Naik Haji. Jangan begitu non, gini-gini usianya dah lama lho. Ya iya, karena usia yang lama itu, sampai tokoh utamanya died masih ada aja. Atau ganti judul mungkin lebih pas, SUKA DUKA KAMPUNG DUKUH.

3. INFOTAINMENT. Buka media sosial, adanya infotainment, nyetel tivi, infotainment juga. Duuh...apa pedulinya juga. Yang bikin heran kenapa juga masih ditonton juga. Terbukti manusia-manusia lebih suka ngomongin orang yang nggak berpengaruh sama pribadi mereka. Toh, infotainment dari tivi manapun, dalam sehari biasanya beritanya juga sama, diulang-ulang dengan gaya bahasa yang sedikit berbeda. Udahlah, kalian-kalian akan kalah dengan performa Lambe Turah kok, beritanya biasanya akan keduluan dipost oleh page yang berjargon gosip adalah fakta yang tertunda itu hahahaaa....

4. JANJI SUCI. Saya nggak tahu kenapa ada yang menonton acara ini. Pastilah yang nonton ini adalah kalangan jetset yang butuh referensi liburan atau sekedar tempat makan atau barang-barang bermerk lainnya ( bilang aja penulis yg kere, sirik sama orang kaya hahahaaa). Lha iya, bikin ngiler, mending amat dia ngadain kuis dengan hadiah tiket gratis pp plus akomodasi. Saran saya, kalau lagi galau, putus cinta nggak punya biaya, nggak usah nonton tuh acara. Lha terus ngapain? Kerjaaaa lah, punya uang tar pacar biar senang hahahaa....

5. SERIAL INDIAHE yang Jam TAYANGnya nggak KETULUNGAN. Ya memang sih, kualitas serial Indonesia masih jauh di atas Korea, tapi mbok ya jangan menyajikan serial India Nehi-nehi dengan jam tayang yang nggak wajar itu, apalagi kalau tokohnya guanteng, naudzubillah itu. Berbahaya bagi emak-emak di rumah, bisa lupa ngepel sore atau mempersiapkan makan malam.

Ada yang mau menambah? Kalau menurut saya ya, acara yang cocok buat rakyat Indonesia itu adalah acara humor, kenapa? karena masyarakat sudah cukup stres dengan harga cabe bawang, mau masak malah mahalan bumbunya dari masakan inti. Mereka butuh hiburan yang membuat tertawa daripada suguhan yang mihil-mihil dan tampan yang menawan. Biar nggak kebanyakan mimpinya hahahaaa...salam

Minggu, 15 Januari 2017

Menikah dengan Orang Kampung??? See this first :)




Dari judulnya kok sepertinya artikel ini mencari pembenaran atau sekedar menceritakan pengalaman pribadi, halahhh.....Bisa ditebak, bacaan ini merupakan bacaan ringan seringan kapas diterjang angin topan, jadi nggak usah difikirkan terlalu dalam. Masih banyak hal lain yang layak difikirkan kok, wkwkwkwkkkk....

Baiklah, back to title, menikah dengan orang kampung??? so what gitu loh. Eit, tapi kalau dipikir-pikir, menikah dengan orang kampung memang butuh sesuatu yang lebih, terutama di kantong. Jarak itu berbanding lurus dengan biaya, yang setuju, cunggg.....

Yang pertama, Sisihkan doku buat pulang kampung. Hahahaaa, bagi aktivis mudik, bukan suatu rahasia lagi bahwa biaya mudik itu menguras tabungan. Yang difikirkan bukan hanya soal transport saja, tapi juga recehan bukti tanda kasih sayang dari rantau, halah. Apalagi kalau pas hari raya dimana harga-harga melambung wuihhh.....Bisa dikatakan panas setahun diganti hujan sehari, kerja setahun dihabiskan dalam sehari hahahaaa.....

Yang kedua, berlatih bahasa kampung. Penting, penting nggak penting sih. Ini untuk menghindari kita cupu, nggak nyambung obrolan sampai dikerjain. Ada nih cerita, jadi pacar dari temen saya ini orang makassar. Nah dia dikerjain sama temen yang orang jawa, “Mas nanti kalau beli tempe, bilang tempenya tolong tambahin huruf K yah.” Whahahaaa, kontan saja penjual tempenya marah-marah sedangkan yang beli plonga-plongo karena nggak tahu arti. Ya memang si, biar aman, pakai bahasa persatuan saja, nggak usah sok pintar, karena bahasa daerah kadang sama lafal beda arti. Kalau bilang gedhang dengan orang Sunda dikasihnya pepaya bukan pisang layaknya orang jawa lhooo.

Next, mereka biasanya tahan banting, mental baja walau dihadapkan dengan dilema. Daripada mengadu dengan orang tua di kampung sedangkan di tanah rantau nggak punya saudara. Tapii ini BUKANLAH hal yang melegalkan kita untuk bertindak semena-mena ya. Hal itu justru membuat kita lebih respek, apresiasi (saya nggak bilang meng-iba yah) terhadap mereka orang rantau, jauh dengan siapa-siapa.

Selanjutnya, mempunyai pasangan yang dari kampung itu seperti punya villa juga. Iya, sambil menyelam minum air dong (klelep???). Apalagi kalau kampung yang masih asri, kanan kiri banyak sawah tanpa polusi ditambah dengan pemandangan gunung yang sejuk. Bayangkan kalau harus sewa villa, mihil. Kalau pulang kampung kan, piknik dapet, silaturahhim juga dapet ( ingat budget makkk). Yang penting tahu diri sajalah ya, jangan mentang-mentang gratis makan, beras panen, sayuran tinggal metik, eh pas pulang masih ngangkut-ngangkut khas kampung mulai dari padi sampai jerami (kalau tradisi ngangkut-ngangkut kayaknya penulis banget nih). Alibinya, mudik itu seninya ya bawa bawaan banyak dari udik hahahaaa.....

Furthermore, biasanya nih ya, biasanya lho, orang udik itu lebih hemat (entah perhitungan atau pelit, beda tipis euy). Lha iya, itu tadi, biar nggak menurunkan harkat dan martabat orang kota pas pulang nanti, intinya, money talks lah ya.
Ada yang mau menambahkan??? Pendapat-pendapat di atas Cuma sekedar tulisan yang menye-menye jadi nggak semua bisa dipukul rata lho ya. Have fun di tengah bulan yaaa....

English_6thGrade_#4

  Cross a,b,c or d of the right answer! 1.       Kim :................? Ran: I am twelve a.        How are you                        ...