Senin, 09 Januari 2017

Bukan Aisyah, Bukan Pula Asiyah



“Karena desiran ombak menepikan sampah yang hendak mengotori laut, begitu juga masalah yang menghujammu....”


PRANG, BRAKKKK.....!!!!
Lelaki itu membanting pintu, mengacuhkan seseorang yang baru saja tiba. Keluar, pergi, entah kemana.........
                                                                                ****
Aku hanya diam,  tak bisa berkata-kata. Dilihatnya serpihan gelas berserakan di ruang tamu. Batinnya hanya menenangkan diri sambil beristighfar supaya tidak ikutan tersulut api emosi. Sementara itu, wanita paruh baya terisak di sudut ruang, berjalan menuju kamar.
Bingung, apa yang ia harus tanyakan, dengan pilu ia memungut serpihan itu agar tidak melukai yang lainnya. Ah, lelaki itu.....beginikah yang aku kenal??? bisiknya. Tidak, tidak. Aku belum cukup mengenalnya. Setahun tak cukup untuk mengenal karakter seseorang. Menurut informasi yang aku terima, dia tidak begini. Tahun-tahun pertama memang berat, begitu kata temanku yang sudah belasan tahun mengarungi biduk rumah tangga. Itu katanya yang sebelumnya ia awali dengan masa pacaran cukup lama. Sedangkan aku? Mungkin bisa lebih berat daripada yang sekedar ia ucap. Kami memang tidak mengawali sebagaimana pasangan pada umumnya. Dia memperkenalkan dirinya karena ia memang sedang mencari pendamping hidup. Jeda waktu antara perkenalan dan peresmian pun kami habiskan dengan kesibukan masing-masing. Ia di sana dan aku di sini.
Dan wanita paruh baya itu.....kenapa hanya bisa menangis dan masuk kamar??? Sungguh, tak ada api tanpa asap. Yang aku tahu, ia memang kadang kalau bicara suka nyeplos kalau kita buru-buru masukkan ke hati, kita sendiri yang stress. Jangan-jangan, apakah kejadian baru saja juga diawali dengan perdebatan? Memang, keadaan yang sekarang bisa dikatakan sumbu pendek. Imamku masih rapuh karena kecelakaan kecil yang berakibat putusnya kontrak kerja. Belum lagi kena tipu teman seperjuangannya yang mengakibatkan kerugian materi yang tidak sedikit. Belum lagi ia harus berjuang demi melepas ketergantungannya terhadap rokok yang selama ini menjeratnya. Sementara, hidup semakin berat dengan biaya hidup meningkat. Tak banyak yang bisa aku lakukan selain menjadikan Allah dan sabar sebagai penolong.
Malam makin larut, keadaan rumah sunyi. Terdengar ketukan, ah....siapa lagi kalau bukan dia. “Sambutlah Sarah”, bisikku. Jangan mengucap kata-kata yang bisa mendidihkan otaknya.....
“Waalaikumsalam...”.....Jawaban salam yang tanpa pendahuluan. Diam, beku. Lelaki itu meraih remote tivi. Aaah, masih aman karena ia menyalakan dalam volume normal. Tanpa ia suruh, aku menyajikan kopi sebagai minuman favoritnya. Aku periksa lini pesan di hapenya. Ah, masih bisa ditolerir. Kesuntukannya ia lampiaskan dengan bermain PS bersama teman masa kecilnya. Sepengetahuanku, temannya baik-baik, tidak ada yang terlibat hal-hal maksiat semacam alkohol, narkoba maupun wanita. Ya Allah, semoga bisa diperbaiki.
Aku mematikan lampu kamar dan beranjak ke peraduan. Biarlah, ia berusaha sendiri mengalahkan emosinya. Belum, belum saatnya aku bicara.....
Terdengar derit pintu terbuka.....ia menyusulku rupanya....
“ Maafkan aku Sarah...” lirihnya sambil mendekatiku.
“Kamu tidak melakukan apa-apa terhadapku Arga.”
“Kamu pasti sedih melihat kejadian tadi...”
“Kamu kenapa?” tanyaku
“Aku tidak terima dengan kata-katanya.” Huft, sudah kuduga.
“Memalukan lelaki yang menggantungkan diri kepada seorang perempuan,” lanjutnya.....
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan.”
“Ah, kamu tak tahu kalau lelaki itu me...”
“Ya, laki-laki melibatkan harga diri Arga. Tapi tak semua kata-kata yang terlontar kamu masukkan ke hati. Kalem. Kalau tidak sepaham denganmu, lebih baik beristighfar daripada meluapkan emosi yang justru merusak semuanya.”
“Sarah, kamu menggampangkan....”
“Arga, justru kamulah yang mempersulit. Di mana keshalihan yang dulu pernah kau tawarkan untukku? Sudah berapa sholat yang kamu tinggalkan? Sejak kapan kata-kata kebun binatang menggantikan istighfar dan sholawatmu?”
“Aku hanya...”
“Atau aku rasa kamu perlu mengganti namamu. Arga, keangkuhanmu seperti gunung yang melambangkan namamu. Anggap apa yang menimpamu adalah ujian. Kamu nggak sendirian. Kamu pikir aku mau hidup seperti ini?”
“Kalau kau tidak suka dengan ini kamu bisa meninggalkanku Sarah.”
“Bukan maksudku begitu Arga. Kamu bisa lebih baik daripada ini. Kamu ini seperti orang yang nggak punya pegangan.”
Bulir-bulir jernih itu mulai keluar dari kelopak matanya...
“Sarah, kenapa kamu tetap di sini? Aku nggak pantas buatmu. Aku menempatkanmu dalam posisi yang tak layak bagimu.”
“Kalau aku pergi apa itu akan menjamin aku lebih bahagia???”
Dia keluar dan aku masih bertahan di ranjang. Kupaksakan mata ini untuk terpejam. Sabar Sarah,....simpan tenagamu buat esok hari.
Tak lama iapun masuk. Lamat-lamat kupandang mukanya. Agak basah. Ia lantas menggelar sajadahnya menunaikan ritualnya. Lama...lama....tak tahu sampai kapan ia mengakhiri munajatnya sampai mata ini terlelap dengan sendirinya.
                “Aku memang bukan Fatimah yang pantas untuk mendapatkan Ali,bukan Aisyah yang pantas untuk Nabi. Tapi aku juga tak ingin seperti Asiyah yang sampai akhir hayat, suaminya tetap berkubang dalam kekufuran.Surga terlalu luas untuk ditempati sendiri”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

English_6thGrade_#4

  Cross a,b,c or d of the right answer! 1.       Kim :................? Ran: I am twelve a.        How are you                        ...